Prahara di PBNU; Zionisme dan Keuangan

  • Bagikan

ADA PRAHARA (topan/badai) panas di tubuh Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) hari-hari ini. Rapat harian Syuriah PBNU Kamis (20/11) lalu memutuskan Ketua Umum PBNU KH. Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya), –mengundurkan diri dari jabatannya.

Desakan itu tidak main-main. Tetapi sangat serius. Jika dalam tiga hari tidak mengundurkan diri, maka Gus Yahya akan diberhentikan dari jabatannya selaku ketua umum PBNU.

Rapat harian Syuriah PBNU tersebut diadakan di Hotel Aston City Jakarta, Kamis lalu (20/11/2025). Agenda rapat, antara lain, mengevaluasi kondisi PBNU, terutama dalam tahun 2025 ini. Rapat menyimpulkan, ada dua kesalahan besar yang dilakukan Gus Yahya selaku ketua umum PBNU.

Pertama, Gus Yahya mengundang Dr. Peter Berkowitz untuk memberikan materi dalam acara pengkaderan di NU Agustus lalu. Padahal, Peter ini dikenal sebagai tokoh zionis internasional dari Amerika Serikat (AS). (Sindonews, 28 Agustus 2025).

Syuriah PBNU menilai, mengundang tokoh Zionis internasional asal AS itu merupakan pelanggaran terhadap nilai dan ajaran Aswaja (Ahlussunnah wal Jamaah) An Nahdliyah. Juga, bertentangan dengan Qanun Asasi NU.

Kesalahan kedua, Syuriah PBNU menilai bahwa, Ketua Umum PB NU terindikasikan melakukan pelanggaran dalam tata kelola keuangan NU. Ada pelanggaran terhadap hukum syara’ terkait dengan pengelolaan keuangan organisasi. Syuriah tidak merinci secara spesifik indikasi pelanggaran syara’ ini. Beberapa waktu lalu ada beberapa pihak yang khawatir, uang korupsi kuota haji 2025 ada yang mengalir ke PBNU.

Baca juga :   Keluarga sebagai Basis Pemberantasan Judi Online

Atas dua dosa tersebut, Rais Aam PBNU bersama dua wakilnya memutuskan, memberi kesempatan kepada Ketua Umum PBNU untuk mengundurkan diri. Jika dalam waktu tiga hari tidak mengundurkan diri, maka Syuriyah PBNU yang akan memberhentikannya.

Gus Yahya tampaknya tidak menyerah begitu saja. Dalam sebuah video, dia justru menganggap apa yang dilakukan oleh Syuriah PBNU terhadap dirinya itu hanya sepihak. Keputusan yang sepihak seperti itu dianggapnya tidak adil.

Gonjang-ganjing yang terjadi di PBNU sekarang ini, terutama yang terkait dengan posisi ketua umum PBNU, sebenarnya sangat memprihatinkan. Mengapa? Karena, masa jabatan Gus Yahya sebagai ketua umum PB NU sebenarnya hanya tinggal satu tahun. Dia terpilih dalam Muktamar 34 di Lampung menjelang akhir Desember 2021. Sesuai periodesasi, akhir Desember 2026 sudah harus muktamar berikutnya.

Pemberhentian terhadap Gus Yahya ini mengindikasikan bahwa ada pelanggaran berat—bahkan sangat berat– yang dilakukan ketua umum PBNU. Terutama, tentang pemberian karpet merah kepada tokoh zionis internasional. Pemberian karpet merah itu mempermalukan NU di mata dunia yang sedang sangat mengecam pembantaian oleh zionis Israel terhadap warga Gaza.

NU merasa malu terhadap lembaga, atau ormas-ormas lain yang berempati terhadap perjuangan rakyat Palestina. Di saat hampir semua lembaga mengutuk zionis, PBNU justru bermesraan dengan tokoh zionis.

Menurut saya, demi nama baik NU, Gus Yahya lebih baik menerima keputusan Syuriah PBNU itu dengan legowo. Sebaiknya, dia mau mengundurkan diri secara ikhlas. Tidak usah melawan. Tidak perlu menunggu dipaksa diberhentikan. Mengundurkan diri secara sukarela itu jauh lebih baik daripada diberhentikan secara paksa. Apalagi, jika diberhentikan dengan tidak hormat.

Baca juga :   Jejak Intervensi Jokowi, Perubahan UU KPK: Bisa Dipidana? (Bagian-3)

Apa yang diputuskan Syuriah PBNU tersebut, bisa jadi itu merupakan puncak dari dosa-dosa organisasatoris yang dilakukan oleh Gus Yahya selama empat tahun terakhir ini. Selama menjadi ketua umum PB NU, Gus Yahya banyak melakukan pemecatan terhadap pengurus wilayah (PW) NU yang dianggap tidak sejalan dengan pemikirannya.

Tidak terhitung sudah berapa banyak pengurus NU di tingkat provinsi dan kabupaten yang sudah dipecati oleh PBNU di bawah kepemimpinan Gus Yahya. Banyak PWNU dan PCNU yang diobok-obok begitu saja oleh PBNU di bawah kepemimpinan Gus Yahya.

Salah satu korbannya adalah Dr. KH. Marzuki Mustamar, ketua PWNU Jawa Timur. Beberapa kiai pengurus NU di tingkat kabupaten di sejumlah daerah juga dipecat. Mereka yang merasa dizalimi Gus Yahya itu sempat mewacanakan perlunya Muktamar Luar Biasa (MLB) NU untuk mengoreksi kepemimpinan Ketua Umum PB NU. Tetapi, wacana MLB itu belum sempat terealisasi, kini muncul koreksi yang lebih tajam dari Syuriah PBNU.

Gus Yahya terkesan membangkang terhadap putusan Syuriah PBNU tentang pengunduran dirinya tersebut. Alasan dia, putusan itu sepihak dan tidak adil. Padahal, sebelum ini, dia begitu mudahnya memberhentikan pengurus NU di tingkat provinsi dan kabupaten secara sepihak. Jauh dari nilai-nilai objektivitas.

Menurut saya, PBNU, terutama dalam hal ini lembaga Syuriah, harus tegas dan konsisten terhadap hasil rapatnya itu. Terhadap putusannya itu. Konsistendi putusan Syuriah tersebut demi kebaikan NU ke depan.

Baca juga :   Sampai Sebegitunya Mereka Memusuhi Anies Baswedan

Munculnya putusan Syuriah tentang posisi Gus Yahya itu adalah bukti nyata bahwa ada ketidakcocokan di PBNU. Antara Syuriah dan Tanfidziyah. Di dalam struktur kepengurusan NU, Syuriah adalah penentu dan pengendali. Tanfidziyah hanya sebagai pelaksana. Kedudukan Syuriah lebih tinggi daripada Tanfidziyah.

Putusan Syuriyah tentang posisi Gus Yahya juga bisa dimaknai sebagai test case tentang relasi Syuriah-Tanfidziyah, relasi rais aam-ketua umum PBNU. Jika Gus Yahya berani menolak mengundurkan diri dan Syuriah tidak memberhentikannya, itu berarti Tanfidziyah menang telak atas Syuriah.

Berarti Ketua umum PB NU berani mengabaikan rais aam. Putusan rais aam dianggap hanya ibarat macan kertas. Ompong lagi. Normalnya, dalam hirarkhi dan tradisi kepengurusan NU, ketua umum tanfidziyah bersikap sami’na wa atho’na (kami mendengar dan menaati) terhadap kiai di syuriah.

Mengingat tahun depan (2026) NU punya gawe Muktamar, maka mulai saat ini perlu menata diri. Persoalan posisi ketua umum perlu segera diselesaikan. Hubungan syuriah-tanfidziyah perlu lebih disolidkan dan diharmoniskan. Jangan sampai ada ganjalan psikologis. Agar persiapan untuk muktamar tahun depan lebih baik, dan bisa menghasilkan kepengurusan PBNU yang lebih baik sesuai zaman yang akan dihadapinya. (*)

DR. H. Mundzar Fahman, MM.;
Penulis adalah mantan wartawan Jawa Pos, tinggal di Bojonegoro, Jawa Timur.

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *