Prof Enny, Ketukan Palumu Ditunggu RA Kartini dan Dewi Keadilan

  • Bagikan

Sampai kapanpun, kemajuan perempuan itu ternyata menjadi faktor penting dalam peradaban bangsa. dan Habis gelap terbitlah terang.

SAYA kutipkan kata-kata bijak dari RA Kartini di atas untuk menjadi inspirasi bagi kita semua, dan terutama bagi Yang Mulia Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Prof. Enny Nurbaningsih (yang biasa dipanggil Prof Enny). Mengapa Prof. Enny? Sebab beliau adalah satu-satunya perempuan hakim MK saat ini yang mempunyai peran sangat penting, khususnya pada 22 April 2024 nanti berkenaan akan diputuskannya sengketa pilpres.

Delapan hakim MK akan membuat keputusan penting yang akan dicatat sejarah. Inilah momentum emas bagi MK untuk mengembalikan marwahnya, setelah selama ini banyak dililit berbagai persoalan hukum sejak hakim MK Akil Mochtar, Patrialis Akbar yang keduanya masuk bui, lalu paling belakangan adalah Ketua MK Anwar Usman yang diberhentikan oleh Mahkamah Kehormatan MK (MKMK) karena dianggap melakukan pelanggaran etika berat terkait persyaratan cawapres.

Setiap 21 April, kita selalu ingat dengan perjuangan seorang perempuan (perempuan berasal dari kata “empu”) dari Kota Jepara bernama Raden Ajeng (RA) Kartini. Kartini adalah perempuan yang tangguh dan gigih dalam memperjuangkan emansipasi wanita. Jika bukan karena perjuangan RA Kartini, rasa-rasanya sulit bagi Prof. Enny menjadi hakim MK. Bila bukan karena perjuangan RA Kartini, mana mungkin Sri Mulyani menjadi Menteri Keuangan RI dan Tri Rismaharini menjadi Menteri Sosial RI? Jika ditilik konstruksi sosial di masa lalu, wanita hanya dianggap sebagai “konco wingking” atau temen di belakang yang tugasnya hanya di dapur saja. Akan tetapi di kemudian jamannya telah berubah.

Di negeri kita, Indonesia, wanita bukan hanya pernah menjabat Menteri, namun juga sebagai Presiden RI, yaitu Ibu Megawati Soekarnoputri: satu-satunya tokoh perempuan dan ketua umum partai politik yang concerned dengan MK, dimana MK lahir saat beliau menjadi Presiden RI. Megawati Soekarnoputri sebagai Presiden RI adalah prestasi puncak yang membanggakan,– yang diraih oleh kaum perempuan di negeri ini.

Baca juga :   Literasi Digital, Keniscayaan yang Harus Segera Ditanggapi Negara

Di berbagai negara, beberapa wanita juga menduduki posisi puncak dalam politik dan kekuasaan seperti – untuk menyebut sekian saja—Margaret Thatcher (Inggris), Benazir Butho (Pakistan), Khalida Zia (Bangladesh), Corazon Aquino (Pilipina), Srimavo Bandaranaike (Sri Langka), Indira Gandhi (India), Isabel Martinez de Peron (Argentina), Elisabeth Domitien (Afrika Tengah) dan sebagainya.

Para tokoh wanita tersebut dikenang dan mempunyai legacy (warisan) karena kiprahnya, karena torehan prestasinya, sebab seperti kata sebuah ungkapan “hidup itu seperti sebuah bank. Tidak dapat mengambil apa yang tidak pernah ia simpan”. Para wanita itu memiliki investasinya masing-masing sesuai bidang pengabdiannya sendiri. Dan pada akhirnya, memang sejarahlah yang akan mencatat kiprah seseorang di dalam hidupnya.

Prof. Enny, meskipun satu alumni dengan saya di Fakultas Hukum UGM dan beliau mantan dosen di almamaternya, namun saya belum pernah diajar oleh beliau. Sebab waktu saya menjadi mahasiswa tingkat akhir, beliau statusnya masih sebagai asisten baru. Namun demikian, selepas dari Fakultas Hukum UGM kariernya meroket. Pernah menjadi pimpinan Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia sebelum menjabat sebagai hakim MK.

Seingat saya, Prof. Enny sudah dua kali dengan sekarang ikut mengadili sengketa Pilpres, yakni tahun 2019 saat paslonnya Joko Widodo-KH. Makruf Amin dan tahun 2024 yang paslon 01 Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar, Paslon 02 Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka dan Paslon 03 Ganjar Pranowo-Mahfud MD.

Baca juga :   Audit Pesta Kawin Kaesang

Dari dua Pilpres tahun 2019 dan 2024, Pilpres 2024 inilah yang paling seru dari hiruk pikuk yang menyertainya. Pasalnya, karena salah satu Cawapresnya adalah putra Presiden Joko Widodo, yaitu Gibran Rakabuming Raka, yang karier politiknya melompat sangat cepat dari seorang Walikota Solo menjadi calon Presiden Republik Indonesia. Dari mengurus penduduk yang jumlahnya sekitar 500 ribu jiwa kemudian mencoba mengurus penduduk seluruh Indonesia yang jumlahnya sekitar 280 juta jiwa.

Tapi, persoalannya bukan di situ. Gibran yang semula tidak memenuhi syarat untuk menjadi cawapres ini karena belum cukup umur pada akhirnya bisa menjadi cawapres berkat campur tangan pamannya yang juga mantan ketua MK, Anwar Usman, yang dengan kasak kusuknya memberi jalan melalui kutak katik Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang dinilai kontroversial.

Menurut Yusril Ihza Mahendra, Putusan MK tersebut mengandung cacat hukum serius, bahkan mengandung penyelundupan hukum. Kata Yusril, putusan MK Nomor 90 itu problematik dan berdampak jangka panjang, “Kalau saya Gibran”, kata Yusril, “Saya tidak akan maju dalam pencawapresan”. Yusril mengkritik dengan sangat atas putusan MK Nomor 90 tersebut, namun aneh bin ajaib, Yusril sendiri justru menjadi Ketua Tim Hukum Nasional (TKN) Paslon Nomor 02 yang dengan terang benderang membela Gibran habis-habisan.

Sejatinya Putusan MK Nomor 90 itu bukan self-executing. Artinya, harus ditindaklanjuti terlebih dulu oleh KPU dengan merobah Peraturan KPU Nomor 19 tahun 2023 (PKPU Nomor 19 Tahun 2023) yang lama. Tapi, hal itu tidak dilakukan oleh KPU. Bawaslu juga sikapnya pasif. Padahal, menurut UU Pemilu, harusnya super aktif dan harus melakukan pengawasan melekat. Politisi bansos juga tak kalah serunya. Bahkan orang-orang istana, termasuk Presiden Joko Widodo turun tangan untuk memastikan kemenangan putranya. Netralitas Polri, TNI, birokrasi, aparat desa menjadi persoalan penting yang diperdebatkan dalam persidangan di MK.

Baca juga :   Hilirisasi Nikel ala Jokowi Rugikan Keuangan Negara

Kuasa hukum Paslon 02 selalu berkelit dengan alasan bahwa MK tidak berwenang mengadili, karena MK hanya berwenang mengadili hasil (outcome) dan bukan proses. Kalau terkait proses, kata mereka, harus diselesaikan di tingkat KPU, Bawaslu atau Gakumdu. Masalahnya, kalau penyelenggara Pemilu tidak menjalankan tugasnya dan kemudian diajukan permohonan kepada MK oleh Paslon 01 dan 03, apakah MK harus menolak? Terus siapa yang akan memutuskan sengketa Pilpres?

Sebagai satu-satunya perempuan di dalam majelis hakim MK, Prof. Enny sangat diharapkan menjadi Dewi Themis atau Dewi Keadilan yang merupakan personifikasi dari keadilan dan kehendak dalam mitologi Yunani yang sangat dihormati para dewa. Themis sering digambarkan dengan pedang keadilan dan timbangan. Themis akan menutup matanya dan menebas dengan pedangnya demi keadilan kepada siapa pun yang menghalangi tegaknya keadilan. Ia akan tegakkan keadilan meskipun langit runtuh (fiat justitia ruat caelum).

Adalah wajar, sebagai satu-satunya hakim MK perempuan, Prof Enny sangat diharapkan menjadi pejuang emansipasi keadilan sebagaimana Raden Ajeng Kartini, dan Dewi Themis (Dewi Keadilan), yang mampu menyingkap tabir yang menyelubungi nilai-nilai kebenaran. Kata Kartini: habis gelap terbitlah terang! (*)

Dr. TM Luthfi Yazid, SH LLM;
Penulis adalah Advokat, dosen dan alumnus School of Law University of Warwick, Inggris (British Chevening).

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *