KITA seperti tersadar bahwa segala euforia, proyek instan, dan selebrasi semu yang mengiringi sepakbola Indonesia belakangan ini ternyata tidak mampu menyembunyikan kenyataan: kita masih sangat tertinggal dari negara seperti Jepang—bukan karena mereka bermain sulap, tetapi karena mereka membangun dari dasar yang kokoh dan dalam waktu yang panjang.
Sepakbola memang bukan proyek yang instan. Salah satu kekeliruan besar yang kerap diulang dalam sejarah sepakbola Indonesia adalah keyakinan bahwa prestasi bisa dibeli dengan materi.
Ketika seorang menteri turun tangan dan mulai “peduli” pada sepakbola, langkah yang diambil cenderung bersifat kosmetik: mendatangkan pelatih asing dengan bayaran selangit, merekrut pemain keturunan dari luar negeri, atau mengganti manajemen federasi dalam waktu singkat. Semua itu dilandasi semangat baik, tetapi sayangnya diarahkan untuk solusi jangka pendek—ibarat memoles cat luar rumah yang fondasinya rapuh.
Sepakbola, seperti halnya peradaban, tidak bisa dibangun dengan trik sulap. Tim nasional yang tangguh lahir dari kultur kompetisi yang sehat, sistem pembinaan usia dini yang konsisten, serta pendidikan karakter dan disiplin sejak awal. Jepang telah membuktikan hal ini. Mereka tidak tergesa-gesa mencari hasil instan.
Sejak dekade 1990-an, Jepang membangun J-League sebagai liga profesional yang berjenjang, dengan ekosistem yang memberi ruang berkembang bagi pelatih lokal, pemain muda, dan klub-klub yang dikelola secara profesional.
Mereka juga menanamkan disiplin dan kerja keras dalam kurikulum sekolah, di mana olahraga adalah bagian dari pendidikan karakter. Kekalahan telak dari Jepang juga menunjukkan fakta penting: bahwa tim sepakbola bukan sekadar kumpulan individu hebat, tetapi kesatuan yang terbentuk dari proses panjang bermain bersama.
Indonesia hari ini memang diperkuat oleh beberapa pemain naturalisasi yang tampil di liga-liga luar negeri. Mereka bertalenta. Tetapi tanpa waktu bermain bersama, tanpa chemistry dan kohesi, mereka hanyalah individu-individu yang belum menjadi tim.
Sebaliknya, Jepang adalah contoh soliditas kolektif. Sebagian besar pemain mereka berasal dari sistem yang sama, mengenal satu sama lain sejak muda, dan bermain dalam ritme yang terukur serta familiar. Mereka tidak hanya bermain dengan taktik, tetapi dengan intuisi yang lahir dari jam terbang dan ikatan sebagai tim.
Yang lebih penting, kegagalan kita dalam sepakbola bukan hanya kegagalan teknis atau manajerial, tetapi juga kegagalan dalam nation and character building. Sepakbola seharusnya tidak hanya dipandang sebagai proyek prestasi internasional, tetapi sebagai bagian dari pembentukan karakter bangsa.
Negara-negara maju di bidang olahraga tidak pernah memisahkan antara pengembangan atlet dengan penguatan budaya disiplin, kerja sama, kejujuran, dan tanggung jawab sosial.
Di Indonesia, semangat olahraga sering terjebak dalam seremonial dan simbolisme, sementara pembinaan usia dini, infrastruktur lapangan, pelatihan pelatih lokal, dan liga remaja nyaris tak mendapat perhatian. Padahal di situlah letak pondasi kejayaan. Jika ingin kuat, kita harus membangun dari bawah, bukan hanya mengimpor dari atas.
Mengapa Kita Harus Belajar dari Kekalahan
Kekalahan dari Jepang seharusnya menjadi titik balik, bukan bahan cemoohan atau sekadar bahan viral. Skor 6-0 adalah sinyal keras bahwa sistem sepakbola kita harus dibenahi secara struktural, bukan ditambal dengan solusi jangka pendek. Kita harus berhenti percaya pada mitos pelatih asing sebagai dewa penyelamat, atau pemain luar negeri sebagai shortcut ke pentas dunia.
Sudah saatnya kita kembali ke hal-hal mendasar: membangun sistem kompetisi lokal yang sehat, memberi insentif pada klub untuk membina pemain muda, menyiapkan pelatih dan manajer yang berkualitas, dan—yang terpenting—mengintegrasikan olahraga dalam pembangunan karakter bangsa.
Guna mewujudkan sepakbola yang Bermartabat; yakni
1. Revitalisasi sistem pembinaan usia dini melalui akademi-akademi lokal yang terstandar dan terintegrasi dengan kurikulum pendidikan nasional.
2. Profesionalisasi liga nasional, termasuk memperbaiki jadwal, sistem promosi-degradasi, dan transparansi manajemen klub.
3. Fokus pada pelatih dan wasit lokal dengan memberi mereka pelatihan intensif serta akses ke sertifikasi internasional.
4. Mendorong pemerintah dan swasta membangun fasilitas olahraga di daerah, tidak hanya stadion besar di ibukota.
5. Menempatkan olahraga, khususnya sepakbola, sebagai bagian integral dari nation building, bukan sekadar alat pencitraan politik.
Sepakbola Indonesia tidak akan maju hanya dengan euforia, proyek mercusuar, atau intervensi sesaat. Sepakbola adalah cermin dari bangsa itu sendiri. Jika kita ingin sepakbola kita kuat dan bermartabat, maka kita harus membangun bangsa ini dengan karakter yang sama: kerja keras, disiplin, kesabaran, dan cinta tanah air yang bukan hanya slogan. Karena pada akhirnya, kemenangan di lapangan hijau hanya akan datang ketika kita lebih dahulu menang dalam membangun sistem dan karakter. (*)
Chappy Hakim;
Penulis adalah Pemain bola Kesebelasan AAU 1971.