INDOSatu.co – BOJONEGORO – Otonomi daerah (Otoda) sudah berumur 28 tahun. Di usianya yang lumayan panjang itu, ternyata banyak capaian-capain positif, tetapi tidak sedikit pula yang menganggap Otoda berjalan di tempat alias belum terlihat hasilnya. Rektor STIT Muhammadiyah Bojonegoro Dr, Ibnu Habibi mengulas Otoda yang diperingati 25 April setiap tahunnya itu.
”Otoda itu merupakan pelimpahan kewenangan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah,” kata Ibnu Habibi kepada INDOSatu.co, Kamis (25/4).
Dengan pelimpahan kewenangan ke pemerintah daerah, kata Ibnu Habibi, tentu akan membuka kesempatan yang luas bagi daerah, dan juga masyarakat masyarakat untuk berpartisipasi dalam berbagai aktivitas, termasuk aktivitas politik di tingkat lokal sekalipun.
”Sebelum diberlakukan pada 1998, bentuk pemerintahan negara (Indonesia, Red) ini kan sangat sentralistik. Dan sejak tahun (1998, Red) itu, telah diubah,” kata Ibnu.
Negara pada 1998 sangat paham bahwa pada masa mendatang, persoalan dan masalah bangsa sangat komplek, termasuk soal urusan pemerintahan. Karena itu, sejak pemerintah Presiden Soeharto pun, sudah mencanangkan Otoda melalui Keppres Nomor 11 Tahun 1996. Namun Otoda baru diundangkan di era Presiden B.J. Habibie, yakni pada 1998.
”Pak Harto tidak sampai berhasil mengundangkan UU Otoda karena keburu lengser yang ditandai dengan era reformasi,” kata Ibnu Habibi.
Dengan pemberlakuan otonomi daerah, kata Ibnu, negara lebih berharap agar terjadi pembagian kewenangan dalam mengurus negara. Dengan Otoda itu, juga diharapkan akan meningkatkan kemampuan pemerintah daerah dalam memperhatikan masyarakatnya.
”Istilahnya lebih fokus. Selama ini kan apa-apa lari ke Pusat dan itu memperpanjang birokrasi yang mestinya bisa diselesaikan daerah, tapi harus ke pusat. Itu yang perlu dipangkas,” kata Ibnu.
Selain itu, kata dia, dengan pelaksanaan Otoda, pemerintah daerah juga lebih banyak mengetahui berbagai masalah yang dihadapi masyarakatnya. Meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan cara meningkatkan pelayanan publik pada masyarakat dan memberdayakan masyarakat untuk berpartisipasi dalam proses pembangunan.
Diakui Ibnu Habibi, hingga kini banyak pihak mempertanyakan belum merasakan hasil dari kerja nyata otonomi daerah. Secara kasat mata, ungkap dia, hasil dari pemberlakuan Otoda memang tidak bisa dilihat. Tetapi, kata Ibnu Habibi, setidaknya masyarakat Bojonegoro sudah bisa merasakan. Misalnya, pembagian DBH minyak yang melimpah. Pembagian itu adalah salah hasil nyata dari pemberlakuan Otoda.
”Coba kalau Otoda tidak diberlakukan, apa mungkin pemerintah pusat mau menggelontorkan dana triliunan ke Bojonegoro? Dari pemkab, dana didistribusikan kepada masyarakat Bojonegoro, melalui pembangunan, beasiswa, bansos, dan perbaikan sarana dan prasarana maupun pemberdayaan lainnya,” kata Ibnu Habibi.
Dengan Otoda juga, Pemerintah Bojonegoro harus harus melakukan melakukan inovasi dan mempercantik berbagai potensi yang dimiliki. Salah satunya adalah potensi tempat wisata. Bojonegoro memiliki banyak tempat wisata. Dengan menggairahkan sektor pariwisata, diharap banyak wisatawan yang datang ke Bojonegoro untuk berlibur ke Bojonegoro.
”Dan masyarakat Bojonegoro sendiri, bisa membuka usaha di tempat pariwisata tersebut agar ekonomi bisa tumbuh dengan baik,” kata Ibnu Habibi.
Ke depan, kata Ibnu Habibi, agar Otoda makin menghasilkan karya nyata, yakni berupa ekonomi yang tumbuh secara mandiri, sehingga dapat mengurangi transfer dari dari pusat. Sayangnya, sampai saat ini ternyata belum bisa diwujudkan.
”Bojonegoro harus bekerja keras secara kreatif membangun dan menfaatkan fiskal daerah. Harus berdamai dengan lingkungan, harus identifikasi total melihat eksistensi sumber daya daerah yang ada.
Karena itu, kata Ibnu Habibi, dibutuhkan seorang pemimpin yang terbuka, pemerintah daerah harus memiliki relasi yang kuat, jejaring yang bagus untuk memasarkan Bojonegoro, sehingga bisa mendatangkan modal dan kapital
“Warga Bojonegoro harus betul betul serius memilih pemimpin. Harus dikaji betul calon calon pemimpin kedepan, uji rasionalitas programnya. Hal itu penting karena kepala daerahlah yang menentukan arah otonomi daerah kita akan kemana,* pungkas Ibnu Habibi (*)



