Rencong (ternyata) Masih Tajam

  • Bagikan
AJANG KESERAKAHAN: Empat pulau, yakni Pulau Panjang, Lipan, Mangkir Gadang, dan Mangkir Ketek yang dalam sejarahnya menjadi wilayah Aceh itu.

DI ACEH, rencong adalah lambang kehormatan sekaligus ketegasan. Tapi ternyata, ada senjata yang ingin dibuat lebih tajam dan terkesan diam-diam: Surat Keputusan Kemendagri. Tanpa perlu berbunyi atau diasah, SK bisa mencabut empat pulau dari pangkuan Aceh.

Keempat pulau itu, Pulau Panjang, Lipan, Mangkir Gadang, dan Mangkir Ketek— digergaji Menteri Dalam Negeri lalu dipindah ke Sumatera Utara, secepat petir di tengah musim paceklik. Hanya dengan selembar kertas bernomor 30022/2138/2025, hilanglah empat pulau dari peta Aceh, seperti dicoret pakai penghapus putih milik birokrasi pusat.

Bisa jadi ini bukan kejadian perdana dalam sejarah geografi politis kita. Tapi yang membuat kasus ini menjadi lebih dari sekadar drama birokrasi adalah fakta: secara historis, geografis, dan sosiologis, keempat pulau itu jelas lebih dekat ke Aceh dan jelas milik Aceh.

Itu tercatat di perjanjian Helsinksi. Juga ada di perjanjian resmi 1992, disahkan oleh kedua gubernur dan disaksikan Mendagri saat itu Rudini, yang menyatakan keempat pulau milik Aceh. Namun, ternyata tinta birokrasi hari ini mau lebih sakti dari dokumen negara semalam.

Tidak perlu perang, tidak perlu musyawarah. Cukup tanda tangan dan stempel. Selesai sudah sejarah. Menyadari kekacauan ini, meski agak terlambat, pada 3 Juni 2025, sejumlah pejabat, dari DPR RI, DPD, hingga Forkopimda Aceh, mendadak tampil menyatakan penolakan.

Mereka menjadikan laut Aceh Singkil jadi panggung politik terbuka. Di atas speedboat, dengan gaya gabungan antara ekspedisi penjajakan dan parade kemerdekaan, mereka demo bersama. Ada spanduk, doa bersama, orasi, dan tentu saja sesi foto untuk media sosial.

Tapi mari kita jujur: apakah ini tidak terlambat? Di saat SK sudah berumur dua bulan lebih, dan publik Aceh mulai membara, baru muncul pernyataan dan manuver simbolik. Sebelumnya? Sepi. Sunyi. Seolah keempat pulau itu tak pernah ada di benak para elite.

Baca juga :   Tujuh Tantangan Besar Indonesia 2023: Demokrasi Harus Diselamatkan (Bagian-1)

Tapi, tak apa terlambat, daripada dicatat merah dalam sejarah. Namun, kalau benar peduli, gugatan hukum ke MA atau interpelasi DPR seharusnya berjalan bersamaan. Sayangnya, lebih banyak suara di atas gelombang dan medsos daripada langkah nyata di ruang sidang.

Sekali lagi, tak apa. Toh, kepemilikan Aceh atas keempat pulau sesungguhnya lebih kuat. Kesepakatan tahun 1992 antara Gubernur Sumatera Utara, Raja Inal Siregar, dan Gubernur Aceh, Ibrahim Hasan, menjadi tonggak penting dalam menyelesaikan sengketa empat pulau di wilayah Singkil.

Dengan mediasi Menteri Dalam Negeri saat itu, Rudini, kedua belah pihak menyetujui bahwa Pulau Panjang, Mangkir Gadang, Mangkir Ketek, dan Lipan sepenuhnya masuk dalam wilayah Aceh. Sengketa lama selesai saat itu.

Dokumen tersebut menegaskan bahwa Sumatera Utara tidak berhak lagi mengklaim wilayah tersebut maupun mengeluarkan izin usaha di sana. Pengelolaan sumber daya alam menjadi hak penuh Aceh, dan kerja sama antar-provinsi hanya diperbolehkan dalam ranah teknis.

Kekuatan hukum kesepakatan ini tidak terbantahkan. Ia diperkuat oleh Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh dan telah mendapat legitimasi Mahkamah Agung melalui Putusan No. 01.P/HUM/2013, yang menolak gugatan Sumatera Utara.

Dokumen ini juga tercatat sebagai arsip resmi di Kementerian Dalam Negeri. Meski demikian, klaim ulang oleh pemerintah Sumut di era berikutnya, termasuk oleh Bobby Nasution, menunjukkan upaya pembangkangan terhadap kesepakatan yang sah dan mengikat.

Aceh, yang berpegang pada prinsip hukum dan penghormatan terhadap sejarah, menegaskan bahwa pelanggaran semacam ini bisa dibawa ke forum internasional jika diperlukan. Posisi Gubernur Aceh Muzakir Manaf cukup kuat untuk membela, meskipun kini diajak “berdamai”?

Baca juga :   Jika UUD Asli Tak Bisa Dikembalikan, Negara Republik Indonesia Terancam Hilang

Tapi, apa sebetulnya alasan Kemendagri kali ini? Hanya evaluasi administratif. Sebuah istilah yang bisa berarti apa saja: dari revisi Google Maps, salah koordinat, sampai bisikan di balik tirai. Tidak ada transparansi. Tidak ada kajian ilmiah dipublikasikan.

Tidak ada konsultasi publik, yang sungguh mencederai demokrasi. Keputusan sepenting pemindahan wilayah, meskipun di antara sesama pemerintahan, mestinya dilakukan transparan. Tapi, bahkan penjelasan resmi pun terdengar seperti hasil diskusi kilat di ruang tunggu bandara.

Celakanya, ada maksud “jahat” atau “licik” atau bahasa halusnya “tidak baik” di balik pencaplokan oleh Sumut kali ini. Kawasan empat pulau ini ternyata menjadi target investasi besar-besaran. Angkanya tidak main-main: disebut-sebut akan masuk triliunan rupiah dari asing.

Sektor yang akan digarap? Diduga mulai dari tambang, gas, pelabuhan logistik, sampai pariwisata eksklusif. Pihak DPR menduga kuat, ada sumber gas besar di sana. Maka, pertanyaannya bergeser: ini soal batas wilayah, atau soal membuka jalan tikus bagi investasi elite?

Lebih mencurigakan lagi, dugaan keterlibatan jaringan politik yang dekat dengan lingkaran mantan Presiden Joko Widodo ikut menguat. Nama Bobby Nasution—Wali Kota Medan, menantu Jokowi, dan (kebetulan?) tokoh Sumut—turut disebut dalam spekulasi ini.

Apakah proyek-proyek strategis ke depan sengaja dikondisikan agar dikelola oleh jejaring oligarkis yang itu-itu saja? Kalau iya, ini bukan sekadar konflik batas wilayah. Ini perebutan kedaulatan dalam bentuk yang lebih licin dan licik: peta dan proyek.

Sementara elite berdebat dan investor menyiapkan proposal, para nelayan di Aceh Singkil justru makin gelisah. Jika benar kelak investasi triliunan masuk ke sana, laut yang mereka kenal sejak kecil kini bisa jadi “wilayah asing” yang membatasi gerak mereka.

Baca juga :   Machiavellisme Istana: Fenomena Moeldoko

Mereka yang selama ini melaut dengan modal secuil, bisa tiba-tiba dicap “ilegal” karena peta berubah. Tak ada yang konsultasi kepada mereka. Tak ada yang undang ke forum kajian. Mereka cuma mendengar dari berita —dan itu pun setelah SK keluar.

Inilah wajah kebijakan eksklusif: yang memutuskan jauh di Jakarta, yang terdampak hidupnya justru tak pernah diajak bicara. Maka, penolakan publik terhadap pencaplokan keempat pulau oleh Sumut bukan sekadar reaksi emosional.

Ini adalah bentuk perlawanan terhadap pola pengelolaan negara yang semakin elitis dan menjauh dari prinsip keadilan. Empat pulau itu bukan sekadar titik koordinat. Mereka adalah wilayah hidup, sejarah, dan kehormatan Aceh.

Dan Aceh, dengan segala kompleksitas sejarahnya, seperti sudah terjadi, tidak akan diam begitu saja melihat wilayahnya dicaplok paksa. Pemerintah Aceh, DPR Aceh, dan elemen masyarakat sipil harus mendorong pembatalan SK itu.

Harus ada audit publik, investigasi mendalam, dan tekanan politik agar Jakarta tidak main-main dengan batas wilayah. Dan bila benar ada skenario investasi besar di sana, pastikan itu bukan dikelola oleh lingkaran oligarki yang dekat dengan kekuasaan.

Presiden Prabowo Subianto tentu paham, Aceh sudah terlalu lama jadi korban tindakan sepihak dari pusat. Saatnya hak wilayah dikembalikan, dan sumber daya dikelola dengan adil. Empat pulau itu harus tetap dalam pangkuan Aceh. Apa pun taruhannya. Dari mana pun investasinya. (*)

Ahmadie Thaha;
Penulis adalah Jurnalis Senior, Pemerhati Sosial Keagamaan.

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *