MENJELANG suksesi kepemimpinan nasional ini, ummat Islam Indonesia perlu mewaspadai upaya sistemik agar suksesi itu tidak terjadi secara damai, termasuk dengan memperalat mahasiswa. Upaya untuk mengulangi reformasi 1998 pepesan kosong sedang berlangsung, sehingga bangsa ini terpuruk kembali lalu gagal menjadi bangsa yang percaya diri untuk merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur sesuai visi para pendirinya sendiri.
Ummat Islam bangsa ini menyadari bahwa UUD 1945 sebagaimana diberlakukan kembali secara de jure melalui Dekrit Presiden 1959 gagal dilaksanakan secara penuh, sehingga bangsa ini selalu terombang ambing oleh kekuatan nekolimik global yang tidak pernah berhenti membegal perwujudan visi pendiri bangsa sebagai creme d’la creme yang dinyatakan melalui proklamasi 17 Agustus 1945 dan diuraikan dalam UUD 1945.
Upaya penjegalan suksesi kepemimpinan nasional ini dinarasikan dengan menjadikan Jokowi sebagai satu-satunya kambing hitam, seperti dulu gerakan reformasi menjadikan Soeharto sebagai sumber masalah. Padahal Jokowi hanya petugas partai jika bukan boneka oligarki.
Jokowisme yang dikeluhkan oleh pemuja demokrasi mbelgedhes seperti Gunawan Mohammad, Ikrar Nusabakti, Butet Kartarajasa dan para creator UUD 2002 hanya bisa tumbuh dalam sebuah ekosistem di mana elite parpol leluasa bersekongkol dengan para oligarch untuk melakukan maladministrasi publik, sehingga berhasil mengakumulasi hampir semua sumberdaya politik dan ekonomi di tangan mereka.
Seperti yang dikatakan oleh Noam Chomsky, bahwa organisasi yang paling berbahaya di planet ini adalah partai politik, bukan ISIS, atau al Qaeda, atau Taliban, apalagi FPI atau HTI. Ini terjadi di AS, di mana partai Republik dan partai Demokrat AS adalah dua organisasi yang paling bertanggung jawab atas kehancuran lingkungan global, dan rangkaian perang dan konflik yang terjadi di seantero planet ini paling tidak selama 25 tahun terakhir ini.
Kekuatan Barat pula, bersama kaki tangan domestiknya di Indonesia yang telah menjatuhkan Soeharto pada Mei 1998 di saat Indonesia hendak lepas landas menjadi macan Asia sebagai negara maju mendahului China. UUD 2002 hasil reformasi telah terbukti menghasilkan deformasi kehidupan berbangsa dan bernegara, deindustrialisasi ekonomi, dan full fledged capitalism yang menjadikan hampir semua kekayaan nasional dikuasai oleh segelintir taipan. Ini tidak bisa diterima Prabowo sebagai patriot bangsa. Situasi ini harus disadari oleh para pemimpin ummat Islam bangsa ini.
Berbeda dengan Jokowi atau Anies Baswedan yang tidak memiliki partai politik, Prabowo sejak awal membangun modal politiknya melalui Gerindra. Sebagai presiden terpilih Prabowo bukan petugas partai biasa seperti Jokowi yang diperlakukan demikian oleh Megawati.
Bahkan, banyak elite parpol hanya menjadi makelar politik. Setelah paling tidak 2 kali kalah dalam Pilpres, Prabowo adalah sosok yang konsisten dalam perjuangan politiknya, walaupun dia menyadari bahwa biaya politik yg dipikulnya sama sekali tidak murah. Bahkan, Pilpres terbukti mahal, melelahkan, dan brutal. Ummat Islam kini perlu membantu Prabowo untuk mewujudkan platform politik Gerindra untuk kembali pada UUD 1945.
Prof. Ir. Daniel M. Rosyid, M.Phil., Ph.D;
Penulis adalah Guru Besar Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya.