Sang Khatib Sang Presiden

  • Bagikan

SETELAH era M. Natsir, Agus Salim, Buya Hamka, dll., di Indonesia kini sulit dan terbilang langka menemukan pemimpin sekaligus ulama yang berwatak kerakyatan, kebangsaan dan kesungguhan ber-Ketuhanan yang Maha Esa. Figur Anies Baswedan apakah menjadi pengecualian? Jawabannya ada pada rekam jejaknya.

Anies Baswedan menjadi pemimpin yang paling kenyang melahap fitnah, upaya kriminalisasi dan ancaman terhadap eksistensi dan keselamatannya. Meski demikian, Anies tak sedikitpun reaktif, mengeluh dan apalagi emosional. Pendidikan dan pengalamannya membentuk pribadi dan karakter Anies tetap santun, beretika dan mengedepankan akhlakul kharimah, meski upaya menghina, merendahkan dan mengganjalnya sebagai pemimpin, kerap datang bertubi-tubi.

Sebagai seorang anak yang tumbuh besar dari lingkungan keluarga akademis dan akrab dengan dunia kepemimpinan, Anies Baswedan mungkin menyadari bahwa ia terpanggil dan tertantang memasuki ranah politik, birokrasi dan panggilan tugas-tugas kebangsaan lainnya. Termasuk begitu besar dan berat menginsyafi situasi dan kondisi Indonesia saat ini yang begitu akut dan dalam kondisi kritis.

Dalam persfektif ideologi dan politik kebangsaan, Anies dituntut bukan hanya sekedar memberikan kontribusi, melainkan lebih dari itu, yakni tanggungjawab, dedikasi dan loyalitas pada rakyat, serta negara dan bangsa Indonesia. Khususnya menghadapi penyimpangan nilai-nilai Ketuhanan dan kemanusiaan dalam proses dan tujuan bernegara.

Sekulerisme telah berhasil memisahkan kehidupan agama dan negara. Namun tidak pada semua pemimpin, termasuk seorang presiden, bisa dipaksa memisahkan dirinya dari keyakinan dan implementasi ajaran agamanya. Pun, juga pada seorang Anies yang terpapar realitas politik dan secara spontan harus bisa meresponnya dengan kepiawaiannya menciptakan keseimbangan nilai-nilai rasional materil dengan nilai-nilai ideal spiritual.

10 Dzulhijah 1446 H atau bertepatan pada 6 Juni 2025, Anies Baswedan didaulat menjadi khatib salat Idul Adha di Masjid Agung Al Azhar yang historik dan ikonik di bilangan Kebayoran Barum Jakarta Selatan. Sebuah momentum sekaligus tugas yang penuh kesan dan begitu menyentuh bagi seorang Anies Baswedan.

Mengapa demikian? Karena perayaan hari raya kurban itu membawa Anies berkesempatan menyampaikan pesan sosial dan spiritual yang relevan, dan bahkan bisa dibilang urgen dengan situasi keumatan dan kebangsaan Indonesia kekinian.

Baca juga :   Jejak Intervensi Jokowi, Niat dan Aksi Lumpuhkan KPK (Bagian 1)

Anies juga memaparkan, ditengah badai distorsi kebijakan penyelenggaraan negara oleh para pemangku kepentingan publik, makna dan pesan idul adha sejatinya harus menjadi tonggak transformasi yang fundamental bagi rakyat, negara dan bangsa Indonesia. Idul Adha bukan sekedar berkurban hewan kambing atau sapi sebagai simbol menyembelih hawa nafsu semata. Idul Adha juga mengandung tugas mewujudkan kemaslahatan kemanusiaan selain kewajiban Ilaihiah.

Idul Adha harus dimaknai bukan hanya sekedar nilai dan spirit semata, kesadaran kritis dan kesadaran maknanya harus didorong pada aspek implementatif dengan gerakan politik dan gerakan sosial. Kesewenang-wenangan dan ketimpangan secara menyeluruh, merasuki setiap orang dan juga menghinggapi politisi dan birokrat.

Maka yang terjadi, bukan hanya membuat kerusakan, tetapi lebih dari itu. Yakni dapat mendorong kemusnahan peradaban. Dunia hanya akan menjadi ruang dan waktu manusia-manusia yang hanya bisa melampiaskan syahwat, selera dan kesenangan semata.

Berjaraknya nilai-nilai dan tindakan, baik dalam konteks kehidupan agama dan negara, hanya akan menciptakan pola hidup dan kebiasaan yang destruktif. Lambat laun akan menjelma menjadi kebohongan, kepalsuan dan pada gilirannya akan muncul kejahatan yang tersruktur, sistematis dan masif.

Hal yang demikian tak ubahnya sebagai wabah pandemi yang sesungguhnya mengancam dan membawa kematian pada kesadaran Ketuhanan dan kemanusiaan itu sendiri. Terlebih jika itu dilakukan oleh para pemimpin dan pemangku kepentingan publik. Sungguh menjadi bencana dan tragedi peradaban yang mengerikan.

Hanya kesalehan sosial yang membumi dan transendental yang mampu menghidupkan ketakwaan dan penyerahan diri seorang hamba pada Tuhannya. Rasanya sangat sulit berharap menjumpai keramahan Tuhan tanpa mengawali kedekatan dan kehangatan pada sesamanya, begitu sekiranya salah satu yang tersirat dari esensi Idul Adha.

Kesadaran akan sikap empati, peduli dan solidaritas sosial yang bersandar pada prinsip-prinsip Ketuhanan dan kemanusiaan yang menjadi substansi perayaan idul adha, harus dipahami dan menjadi landasan utama dalam membangun struktur sosial dan politik bernegara.

Pemimpin Agama sekaligus Pemimpin Negara

Aparatur negara secara integral komprehensif seharusnya mampu menghadirkan
kemaslahatan dan keadilan sosial untuk semua. Bukan malah menjadi alat kekuasaan yang kontradiktif terhadap upaya melahirkan sistem dan orang dengan keberanian mengusung kebenaran dan kejujuran, serta justru ironis menjadi intim idan kohesif dengan kejahatan dan kemunafikan.

Baca juga :   Begitu Cepat Goodbener Anies Berlalu

Anies Baswedan telah menjadi fenomena pemimpin yang terus berjibaku melawan sisi lain kegelapan zaman modernitas. Bukan hanya menghadapi arus besar kapitalisme dan imperialisme yang populis, sebagai intelektual birokrat dan politisi sekaligus ulama, Anies juga harus melawan kuasa besar yang menggerakkan sekulerisasi dan liberalisasi.

Anies Baswedan menjadi literasi paling aktual ketika konstitusi dan demokrasi dimanipulasi untuk mengaborsi pemimpin yang lahir dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Pemilu formal dan prosedural yang diselenggarakan dengan grand desain dan skema borjuasi politik dan ekonomi para pemilik modal, melahirkan kepemimpinan nasional yang perlahan tapi pasti melahirkan negara gagal. Negara tanpa kesejahteraan, negara tanpa keadilan dan kesetaraan bagi semua anak bangsa.

Pilpres 2024 boleh saja menggunakan kekuasaan yang menghalalkan segala cara untuk menguasai negara Indonesia secara korup dan tiran. Namun, konspirasi kejahatan persta demokrasi rakyat itu tak mampu membunuh apalagi melenyapkan pemimpin yang berlindung pada kebenaran dan keadilan Tuhan.

Rakyat yang teraniaya dan tertindas akan melahirkan pemimpinnya sendiri. Bukan pemimpin boneka yang dirakit dan direkayasa dari kelompok oligarki atau kapitalis birokrat. Dari rahim rakyat akan mengalir gen pemimpin dalam janin seorang intelektual, ulama dan pejuang-pejuang pergerakan lainnya yang lahir dan mati untuk mengabdi pada rakyatnya.

Anies telah melewati proses panjang dan ujian berliku dalam mematangkan karakter kepemimpinannya. Gelombang fitnah, kriminalisasi dan semua upaya yang mengancam eksistensi serta keselamatannya telah berhasil dilewati Anies tanpa menanggalkan adab dan akhlak. Tidah hanya mengedepankan etika, moral dan hukum, Anies juga mampu menghadapi semua masalah sosial politik dan sosial ekonomi dalam bernegara dengan pendekatan logis, humanis dan religius.

Seiring waktu dan sejarah mulai merangkai torehannya, rakyat mulai memahami siapa pemimpin yang sebenarnya. Siapa presiden boneka dan siapa presiden boneka, data dan fakta yang bicara. Anies adalah pemimpin yang bekerja tanpa batas tanpa sekat. Anies menjadi teladan dan inspirasi bagi rakyat, negara dan bangsa Indonesia meskipun konstitusi dan demokrasi tak kuasa menasbihkannya.

Baca juga :   Indonesia Berduka: MKMK Jadi Penjaga Kehormatan Anwar Usman
PANUTAN UMAT: Tokoh nasional, Anies Rasyid Baswedan saat menjadi khatib salat Idul Adha di Masjid Al Azhar

Akan datang suatu masa ketika seorang Anies Baswedan tak lagi bisa dibendung dan dijegal menjadi pemimpin sekaligus memegang mandat presiden. Tak ada lagi ruang dan waktu untuk menyerah melawan kezaliman dan kemunafikan, baik oleh bangsa asing maupun oleh bangsa sendiri. Indonesia bukan negara dan bangsa budak, bukan pula negara dan bangsa yang menjadi santapan harian para kapitalis dan imperialis. Republik ini lahir dari cucuran keringat, tetesan darah dan korban nyawa para ulama, rakyat dan pejuang lainnya.

Keselamatan dan kebangkitan Indonesia hanya bisa dilakukan dengan kesadaran patriotisme dan nasionalisme serta religiusitas yang menjadi fundamental kebangsaan Indonesia. Lebih dari itu, bukan hanya sekedar memiliki kekuatan konseptual dan praktis dalam penyelenggaraan negara. NKRI butuh pemimpin dengan kemampuan skill dan moral tinggi. Penuh dengan jiwa kasih sayang dan kelembutan. Menunjung tinggi kebijaksaanan yang seiring sejalan dengan ketegasan.

Rakyat butuh pemimpin yang multitalent, estetik, dan bernas untuk memimpin negara yang semangatnya bersandar pada prinsip-prindip nasionalis religius dan religius nasionalis. Indonesia butuh ulama yang pemimpin dan pemimpin yang ulama. Sulit dan langka menemukan pemimpin seperti itu setelah M Natsir, Buya Hamka, Mohammad Hatta. Tan Malaka dll.

Kini, di tengah wabah kerusakan moral dan syahwat kekuasaan melanda banyak kalangan pemimpin dan pejabat, Anies seakan hadir dan terus mengisi ruang publik sebagai anomali dari kerusakan sistem dan penyimpangan behavior para penyelenggara negara.

Mungkinkah pemimpin sejati yang sebenar-benarnya amanah dalam memikul amanat penderitaan umat dan rakyat akan hadir melaksanakan tugasnya. Sejauh negeri dilanda multi kejahatan, hanya Anies yang bertahan menjadi pemimpin berkeadaban. Anies Baswedan memenuhi kriteria dan kelayakan itu. Anies, Sang Khatib, Sang Presiden. (*)

Yusuf Blegur;
Penulis adalah Alumni GMNI, Aktivis 98, dan Pengamat Politik Kebangsaan.

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *