Seputar Proklamasi 17 Agustus 1945, 36 Jam yang Menegangkan

  • Bagikan
TONGGAK SEJARAH: Bung Karno (depan) membacakan teks proklamasi kemerdekaan Indonesia dengan dikawal para pemuda revolusioner yang menginginkan Indonesia merdeka.

BUNG KARNO bangkit, beranjak dari tempat duduknya, mengangkat tangannya, yang kiri memegang batang leher yang kanan digerak-gerakkan ke kanan dan ke kiri, seakan seperti sedang menyembelih, dengan diiringi suara menggelegar:

“Biar digorok leherku, Aku tidak akan memproklamirkan kemerdekaan malam ini…Besok atau kapan saja … Kamu jangan coba-coba mengancam aku, ya.”

Bung Karno (BK) menyembur Wikana, tokoh pemuda yang mengancam bahwa pemuda dan rakyat akan berontak jika Bung Karno tidak memproklamirkan kemerdekaan saat itu juga, demikian tulis BM Diah, sesama pimpinan pemuda yang hadir, mengenang kejadian yang menegangkan pada 15 Agustus 1945 malam dalam catatannya pada buku Angkatan Baru’45 (buku ini dalam proses cetak ulang).

Suara BK terdengar sampai ke beranda belakang di mana isterinya, Fatmawati, sedang mengurus Guntur, puteranya. Fatmawati pun bangkit, kemudian menggendong Guntur yang masih kecil, berjalan menuju arah suara suaminya. Fatmawati berhenti di balik pintu dan mengintip keluar ke beranda muka yang terbuka di sebuah rumah jalan Pegangsaan Timur. Fatmawati agaknya khawatir terjadi sesuatu dengan suaminya.

Di beranda itu sedang berlangsung “perundingan” yang kemudian nyaris menjadi debat kusir antara golongan pemuda yang dijurubicarai Wikana dengan golongan tua,– Bung Karno, Bung Hatta dan Mr. Ahmad Soebardjo. Bung Karno tidak akan memulai perundingan sebelum hadirnya Bung Hatta, yang datang belakangan. Waktu hampir menunjukkan pukul 10.00 malam.

Belum sempat duduk, begitu dia menunjukkan mukanya, Bung Hatta, yang melihat para pemuda berkumpul di hadapan Bung Karno, langsung bertanya: “Ini pemuda mau apa lagi…?” Disambut Bung Karno: “Pemuda pemuda apa sudah mempersiapkan rakyat untuk revolusi?.”

“Hayo duduk, duduk,” seru Bung Karno yang sudah duduk terlebih dahulu. Semua pemuda duduk. Mr. Ahmad Soebardjo dan Bung Hatta, mendampingi Bung Karno, duduk di kanan dan kiri. Terlihat sikap Bung Karno dan Bung Hatta yang paternalis menganggap pemuda-pemuda masih belum dewasa meski ketika itu usia rata rata pimpinan pemuda adalah 27-28 tahun.

Lebih lanjut, BM Diah bercerita, Wikana memulai dengan pembicaraan, menyambut pertanyaan Bung Karno mengenai maksud pertemuan itu. Diah sendiri tidak juga tahu apa maksudnya, sebelum kemudian dibisiki apa yang ada dalam rencana pemuda. Malam semakin larut. Waktu menunjukkan pukul 10.00 malam.

“Bung,” kata Wikana, “Kami diutus oleh pemuda dan rakyat untuk meminta kepada Bung Karno supaya menentukan sikap sekarang. Bung tahu, Jepang sudah kalah dan minta damai. Juga sudah menyerah tanpa syarat pada Sekutu,” kata Wikana melanjutkan dengan suara yang mengesankan.

Pada 6 Agustus (1945) kota Hiroshima dibom yang membinasakan ratusan ribu penduduk. Juga gedung gedung hancur dan terbakar. Tiga hari kemudian, tepatnya 9 Agustus Nagasaki mengalami hal serupa. Dibom juga.

Baca juga :   Kuasa Rakyat Memilih dan Menyerahkan Mandat

“Jepang sudah meminta damai,” Nishijima pegawai sipil, anggota rahasia AL Jepang bercerita kepada BM Diah selepas pembebasannya di pagi hari 15 Agustus 1945 itu dari tahanan Jepang. Nishijima dan seorang Jepang lainnya bernama Ichiki, juga pegawai sipil tentara Jepang telah membantu pelepasan Diah dari tahanan atas permintaan keluarga istri, Herawati, yaitu paman-nya Mr Soebardjo dan ipar Mr Sudjono.

“Saya juga sudah tahu,” jawab Bung Karno “Saya sudah mendengar sendiri dari somubuchoo, Jenderal Nishimura. Dia meminta kepada saya supaya menjaga ketenangan.”Sebelumnya, Bung Karno tidak diberitahu Jepang menghadapi kekalahan ketika berada di Dalat, dekat Saigon, untuk bertemu dengan Jenderal Terauchi, Panglima Perang Jepang untuk wilayah Asia Tenggara pada 11 Agustus 1945.

Bung Karno pun berdiam sebentar. “Saya minta kepada saudara saudara supaya juga tenang, menunggu perintah-perintah saya.”

Pertemuan yang tadinya dimaksudkan hanya untuk meminta para golongan tua mengambil sikap dengan kekalahan Jepang, yang sudah disiarkan Sekutu, berubah menjadi debat dengan suhu yang semakin meninggi.

Wikana langsung berdiri mendengar jawaban Bung Karno. Dengan suara lantang dia berkata: “Apakah Bung mau suruh kami tunggu? Apalagi yang mau ditunggu. Ini sudah waktunya….”Para pemuda tidak sudi bangsa Indonesia dijadikan inventaris untuk diserahkan oleh Jepang kembali pada Belanda. Sekutu telah meminta Jepang menjaga status quo.

Bung Karno balik membalas: “Kita harus menunggu dan jangan mengorbankan rakyat percuma. ”Bung Hatta menyetujui sikap Bung Karno dan bertanya: “Apakah saudara saudara siap betul-betul untuk melancarkan revolusi? Kalau gagal bagaimana. Bukankah rakyat nanti yang menjadi korban?”

“Rakyat siap berontak. Pemuda-pemuda akan pimpin pemberontakan rakyat ini,” kata Wikana membalas dengan suara dongkol. Singkatnya mereka membayangkan kepercayaan akan kekuatan sendiri, kekuatan pemuda, kekuatan rakyat. Ini senantiasa menjadi pertentangan antara muda dan tua. Dalam keadaan seperti ini, Wikana yang paling bersemangat.

Setiap kali berbicara, dia selalu mengeklaim, bahwa pemuda dan rakyat, buruh dan tani, mahasiswa dan pelajar tinggal menunggu komando saja untuk memulai revolusi. Dia menggambarkan pemuda siap aksi. Gelisah, tidak sabar lagi. Tetapi yang diajak enggan bergerak.

Komando untuk bergerak, yang diharapkan Wikana dan para pemuda, tidak kunjung datang. Sebab yang terjadi sebenarnya terletak pada persepsi masing masing golongan dalam menilai situasi dan kondisi saat itu.

Usai Wikana mencoba meyakinkan pemimpin pemimpin tua itu, suasana di ruang itu, dengan cahaya lampu yang rada rada redup, terasa sesak. ”Saya sendiri serasa di kamar yang kekurangan oksigen,” tulis Diah.

Dalam keheningan menyesakkan itu, tiba-tiba Mr. Ahmad Soebardjo bersuara: “Setiap perjuangan harus diperhitungkan untung ruginya. Kami percaya pada kekuatan pemuda, serta kerelaan berkorban. Juga kami dulu berani mengorbankan diri mencapai tujuan. Tetapi sekarang. Apakah kita memiliki cukup senjata? Sudah mampukah kita?”

Baca juga :   Gibran; Maju Kena Mundur Kena

Di antara para pemuda ada yang menjawab dengan apa saja kita bisa berjuang. Pakai golok, bambu runcing, pakai senjata senjata yang diserahkan Jepang atau yang akan dirampas.

Bung Karno tidak tertarik. Tidak terpengaruh, terpesona atau terpukau mendengar uraian para pemuda. Demikian BM Diah mencatat. “Saya tidak hadir sebelumnya dalam pembicaraan di antara kawan kawan tentang tindakan apa yang harus diambil dengan situasi baru ini.

Saya absen (dalam tahanan Jepang) selama itu. Saya tercengang melihat drama yang terjadi di depan saya, dan tidak ikut bicara mula mula. Tetapi saya rasakan bahwa kawan kawan saya tidak memajukan suatu usul yang konkrit dalam pembicaraan itu. Bagaimana memformulasikan suatu sikap untuk menggerakkan aksi-aksi kemudian.

Situasi revolusioner sudah ada. Pemimpin-pemimpin sudah siap. Rakyat bisa digerakkan. Pemimpin pemimpin tua juga sudah memahami keadaan. Tetapi, semua belum dapat memformulasi suatu sikap, sesuatu tindakan aksi. Saya terjun dalam pembicaraan.”

BM Diah lalu berkata: “Bung Karno. Bung sebagai pemimpin kami, pemimpin rakyat harus mengambil suatu sikap tegas. Bung Karno harus memproklamirkan kemerdekaan, kemerdekaan bangsa Indonesia. Kami pemuda siap. Tetapi kami tidak akan sanggup sendiri memproklamirkan kemerdekaan. Bung Karno dan Bung Hatta adalah pemimpin rakyat seluruhnya. Hanya bung keduanya yang dapat dipercaya dan diikuti oleh rakyat. Kami akan menjadi perisai rakyat dan menurut perintah Bung Karno dan Bung Hatta.”

Pikiran itu bukan baru, menurut Diah. Dia dan kawan-kawan, seperti Sukarni, Chairul Saleh, Wikana, sedang mempersiapkan organisasi Angkatan Baru’45 dan aksi-aksinya, senantiasa muncul ide tentang “proklamasi”.

Tapi mereka pun bertanya-tanya dan saling memandang, satu dengan yang lain, ’apa yang harus dilakukan. Apabila, dalam kesungguhan berpikir mereka, apa yang ada dalam benak masing masing, ternyata terhalang oleh para pemimpin rakyat yang tidak sedia melaksanakan “proklamasi” kemerdekaan, walau pun sangat diharapkan.

“Belum selesai saya berkata, saya melihat Wikana menggerakkan tangan yang sebelumnya ada dalam sakunya, dan seakan akan menuding Bung Karno,” BM Diah meneruskan ceritanya.

“Kalau Bung tidak memproklamirkan kemerdekaan sekarang juga atau sekurang-kurangnya besok pagi, pemuda dan rakyat akan berontak. Kami tidak tanggung jawab apa yang akan terjadi. Pemuda akan membinasakan siapa yang akan menghalangi perjuangan mereka….”, dia berkata hampir berteriak.

Reaksi Bung Karno terhadap ancaman ini tentu sangat tidak diduga, mengejutkan, apalagi dia mengancam balik “tidak akan pernah” memproklamirkan kemerdekaan.

Baca juga :   Jokowi Memang Sudah Tidak Bisa Dipercaya

Bahkan, Fatmawati terkejut. Kami semua tergugah. Rupanya akan gagal perjuangan pemuda menarik Soekarno dalam revolusinya. Harapan untuk memproklamirkan kemerdekaan oleh Bung Karno gagal. Siapa lagi yang dapat diminta? Tiada seorang pun yang memiliki pengaruh secara nasional dan internasional daripada orang ini. Kami hampir putus asa.”

Bahwa jika pemimpin rakyat (Soekarno-Hatta) tidak bersedia memproklamirkan kemerdekaan, ‘siapa lagi yang akan diminta?’, sudah ada dalam bayangan para pimpinan pemuda, tapi opsi lain tetap saja tidak tersedia. Sjahrir, yang juga sering disebut sebut ketika itu sebagai tokoh nasional, tidak pernah simpatik dengan sepak terjang Soekarno-Hatta yang mau bekerja sama dengan Jepang. Malah Sjahrir sangat suka menjuluki Soekarno-Hatta sebagai koloborator Jepang.

Sjahrir berpikiran Barat, seorang sosialis demokrat. Dia lebih cenderung menunggu kedatangan Sekutu dan berunding dengan mereka untuk kemerdekaan. Tan Malaka, seorang revolusioner, nasionalis kiri, lebih suka bergerak, bergerilya di bawah tanah.

“Apakah Sukarni, Chairul, Wikana atau siapa pun dapat bertindak atas nama rakyat Indonesia saat itu,” Diah mencoba mengenang. “Sukarno dan Sukarni memang berbeda huruf diakhir pada namanya. Tetapi dalam wibawa, pengaruh dan kharisma dan lain-lain tentulah perbedaan itu tidak serupa antara huruf o dan i. Bahkan mereka berbeda seperti langit dan bumi. Keyakinan saya bahwa hanya Sukarno dan Hatta yang dapat memproklamasikan kemerdekaan sampai pagi 17 Agustus 1945.”

Setelah semua yakin atas ancaman Bung Karno, maka para hadirin berangsur angsur meninggalkan pertemuan, demikian tulis Diah. “Saya kembali ke rumah, karena merasa penat setelah beberapa hari di penjara dan kemudian sehari suntuk aktif lagi dalam perjuangan. Juga kawan-kawan lain berjalan sendiri dengan pikiran masing masing.

Tetapi Wikana yang diutus pemuda Menteng 31 akan melaporkan apa yang terjadi malam itu di Pegangsaan Timur 56.. Menjelang perpindahan hari ke 16 Agustus 1945, tersiar berita di antara pemuda, Bung Karno dan Bung Hatta, telah diculik dan diangkut oleh pimpinan mereka ke Rengasdengklok.

Tekad para pemuda revolusioner menginginkan kemerdekaan Tanah Air-nya diproklamasikan oleh pemimpin mereka Soekarno-Hatta, sekarang dan sekarang juga, di manapun itu harus dilakukan. Peristiwa Rengasdengklok ternyata juga hanya sebuah sasaran antara, bukan tujuan akhir.

Proklamasi Kemerdekaan akhirnya digelar juga di tempat Jalan Pengangsaan Timur 56, yang 36 jam lalu, Soekarno menolak untuk dipaksa pemuda melakukannya. Betul-betul sebuah ironi sejarah. Atau mungkin juga sudah takdir. (*)

Nurman Diah;
Penulis adalah Pemerhati Masalah Sosial dan Budaya. Nurman adalah putra BM Diah, jurnalis yang terlibat persiapan pembacaan Teks Proklamasi Kemerdekaan Indonesoa oleh Soekarno-Hatta

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *