Sesat Berpikir, Agungkan Nikel, Indonesia Bukan Penentu Arah Teknologi Baterei

  • Bagikan

CAWAPRES Gibran Rakabuming bertanya kepada Cawapres Abdul Muhaimin Iskandar (Gus Imin) dalam debat cawapres kedua, atau debat capres-cawapres keempat (21/1): “Paslon nomor satu dan tim suksesnya sering menggaungkan LFP (Lithium Ferro Phosphate), saya tidak tahu ini, pasangan nomor satu ini anti nikel atau gimana, mohon dijelaskan”.

Pertanyaan Gibran, bahwa sering menyebut LFP identik dengan anti nikel adalah kesalahan berpikir yang sangat serius. Kesesatan berpikir. Fallacy of thinking.

Pertanyaan seperti itu tidak patut dilontarkan dalam debat cawapres. Pertanyaan Gibran mencerminkan ketidakpahaman tentang konstelasi industri baterai dunia, dan posisi Indonesia sebagai supplier nikel.

Indonesia bukan penentu arah teknologi baterai di masa mendatang, apakah akan berbasis nikel (NMC) atau LFP (Lithium Ferro Phosphate). Indonesia hanya supplier bahan baku saja. Tidak lebih dari itu.

Yang menentukan arah teknologi baterai adalah produsen baterai dan pengguna (user) baterai, antara lain produsen mobil listrik, dengan memperhitungkan biaya produksi, keamanan baterai, faktor lingkungan, masa pakai, dan lainnya.

Pendapat atau pernyataan Tom Lembong, Co-Captain Tim Pemenangan 01 Anies-Muhaimin (AMIN), terkait baterai LFP, hanya mengungkapkan sebuah fakta perkembangan dan trend industri baterai, bahwa baterai LFP akan mendominasi industri baterai di masa mendatang.

Baca juga :   Lula da Silva, Pelajaran Buat Anies Baswedan

Karena, faktanya, trend penggunaan baterai LFP terus meningkat, mencapai lebih dari 30 persen pada 2022. Tesla dan BYD mendominasi kenaikan penggunaan baterai LFP global, dengan kontribusi lebih dari 60 persen.

Di Tiongkok, penggunaan baterai LFP sudah melampaui NMC (Nikel) sejak 2021, mencapai hampir 70 persen dari seluruh mobil listrik di Tiongkok tahun 2023 (11 bulan). Toyota Motor juga menyatakan akan mengembangkan baterai LFP.

Pendapat atau pernyataan Tom Lembong tersebut tidak ada urusannya dengan menolak nikel atau tidak. Tom Lembong juga tidak dalam posisi menentukan arah teknologi baterai dunia.

Karena itu, pernyataan bahwa baterai LFP akan mendominasi pangsa pasar baterai dunia, diartikan sebagai penolakan terhadap nikel, merupakan sebuah kegagalan paham yang sangat serius. Selanjutnya, pernyataan Cak Imin bahwa pertambangan nikel sudah “ugal-ugalan” dapat dilihat dari beberapa faktor dan fakta.

Baca juga :   Dukung TNI, Copot Baliho Ganjar

Pertama, pertambangan secara umum, termasuk nikel, hanya menguntungkan segelintir orang saja.

Hilirisasi (smelter) nikel didominasi dan dikuasai segelintir perusahaan asing. Mereka dikasih insentif pajak dan non-pajak, yang tentu saja merugikan keuangan negara. Ini “ugal-ugalan” pertama.

Kedua, kebanyakan, kalau tidak semua, pertambangan nikel terbukti merusak lingkungan, sangat parah, sehingga patut dilabeli “ugal-ugalan”.

Banyak warga di daerah pertambangan nikel diintimidasi, bahkan ada yang ditangkap dan dipenjara. Perusahaan tambang tersebut dibekingi oleh oknum pejabat dan aparat. Ini juga yang dimaksud dengan “ugal-ugalan”.

Jejak “ugal-ugalan” pertambangan nikel yang menyebabkan pencemaran lingkungan, intimidasi dan kriminalisaai terhadap warga, dapat ditemui di banyak pertambangan nikel, antara lain di pulau Wawonii, atau Mandiodo, Sulawesi Tenggara, atau di Maluku Utara.

TEKNOLOGI TINGGI: Penampakan mobil listrik yang diproduksi di luar negeri sebagian besar menggunakan baterei Lithium Ferro Phosphate (LFP).

Selanjutnya, pertambangan ilegal semakin menjamur, membuat kerusakan lingkungan semakin parah. Menurut data Kementerian ESDM, ada lebih dari 2.700 tambang ilegal pada 2022. PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan) mengatakan, uang ilegal dari tambang ilegal mengalir jauh ke politisi.

Baca juga :   Istana "Merakyat": Mahasiswa Boleh Berdemo di Istana

Penjelasan di atas menunjukkan, pemahaman Gibran terkait industri baterai sangat minim, dan cenderung tidak mengerti apa-apa. Peralihan dari baterai berbasis nikel ke baterai LFP merupakan bagian dari perkembangan disrupsi industri baterai, yang tidak dapat dielakkan, dan tidak berhenti hanya sampai di sini.

Disrupsi berikutnya, teknologi baterai berbasis sodium, sodium-ion, na-ion, siap menggantikan baterai LFP. Pertanyaannya, apakah Indonesia siap dan mampu menghadapi disrupsi industri yang bukan hanya terjadi di industri baterai, tetapi juga di berbagai industri lainnya?

Tidak ada pilihan lain, Indonesia harus menyiapkan diri menghadapi tantangan disrupsi industri. Jangan hanya mengagungkan nikel saja. Banyak negara tidak mempunyai nikel, tetapi jauh lebih sejahtera dari Indonesia. Misalnya Korea Selatan, Jepang, dan sebagainya.

Semoga Gibran paham, bukan Tom Lembong yang menolak baterai berbasis nikel, tetapi disrupsi industri baterai akan menghasilkan nickel-free dan lithium-free battery: disrupsi industri baterai akan mengakhiri dominasi baterai berbasis nikel. (*)

Prof. Anthony Budiawan;
Penulis adalah Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS).

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *