INDOSatu.co – BOJONEGORO – Sejumlah kelompok tani hutan (KTH) di kawasan Bojonegoro selatan merapatkan barisan. Sikap tersebut ditempuh setelah ada pelarangan menggunakan pupuk bersubsidi lewat banner yang diduga dari Perhutani setempat. KTH tersebut datang dari Kecamatan Bubulan, Sekar, Gondang dan Temayang menyikapi larangan menggunakan pupuk bersubsidi.
Informasi yang dihimpun wartawan INDOSatu.co, sedikitnya tujuh pengurus dan puluhan anggota dari tujuh KTH berkumpul di rumah Lulus Setiawan, SH, Desa Ngorogunung, Kecamatan Bubulan. Pertemuan ini difasilitasi Lembaga Swadaya Masyarakat Pemberdayaan Kinerja Peduli Aset Negara (LSM PK PAN) Bojonegoro.
“Ya, kita fasilitasi para KTH ini untuk mengambil sikap bersama. Sebab, kami ditunjuk oleh para KTH ini sebagai pendamping KTH mereka,” kata Alham M. Ubey, Sekretaris Umum LSM PK PAN, Senin (6/3).
Dalam rembuk bersama tujuh KTH ini, antara lain mempelajari dan mengkaji surat dari Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian Kabupaten Bojonegoro Nomor: 520/3169/412.221/2022, tertanggal 21 November 2022, tentang fasilitasi pupuk bersubsidi untuk penggarap lahan Perhutani/Kehutanan tahun 2023.
Lulus Setiawan, tokoh petani hutan di kawasan Bojonegoro selatan itu menilai, surat dari DKPP yang dijadikan alasan Perhutani melarang penggunaan pupuk bersubsidi ini sebagai bentuk diskriminasi negara terhadap petani hutan Bojonegoro.
“Kami dan ribuan warga hidup dari bertani di kawasan hutan. Tidak ada lahan lain yang sudah selama 20 tahunan kami garap, Lha kok pemerintah menyatakan tidak bisa memfasilitasi, ini jelas diskriminatif,” kata mantan Kepala Desa Ngorogunung ini.
Senada dengan Lulus, M Alik, Ketua KTH Wono Lestari Lanching Kusumo, Desa Clebung, Kecamatan Bubulan mengatakan, bahwa negara tidak hadir pada saat petani hutan kesulitan pupuk. Menurut dia, pemerintah mestinya hadir ketika rakyatnya berjuang untuk urusan pekerjaan.
“Petani itu modal sendiri, pupuk juga beli sendiri. Tapi kalau ada keberhasilan, yang bangga pemerintah. Yang jelas, kami ingin agar masalah pupuk itu dipenuhi, pupuk yang bersubsidi,” jelas Alik.

Sementara itu, M. Alham Ubey menambahkan, hasil pantauannya di kawasan hutan, puluhan banner larangan penggunaan pupuk bersubsidi di kawasan hutan sudah menghilang. Menurut sejumlah petani, banner-banner itu dicopoti oleh pihak Perhutani sendiri, setelah mendapat protes keras dari sejumlah KTH.
“Memang, seharusnya pihak Perhutani tidak perlu bertindak yang memicu konflik antara petani dengan Perhutani. Bagaimana pun, warga pinggiran hutan telah menggarap lahan hutan untuk bertani sudah puluhan tahun, yang tentu dalam aktivitasnya membutuhkan pupuk bersubsidi, sebagaimana petani lain di luar kawasan hutan,” kata mantan jurnalis RCTI ini.
Dalam pertemuan yang dihadiri sekitar 50 orang pengurus dari 7 KTH ini, menghasilkan beberapa sikap, antara lain berencana akan menyampaikan aspirasinya ke wakil mereka di DPRD Bojonegoro.
“Kita kan punya wakil mas, di DPRD. Masak tidak tahu kalau rakyat yang diwakilinya kelimpungan mendapatkan pupuk? Malah ada yang tega menakut-nakuti lagi,” kata Rais, Ketua KTH Wono Tani Sumber Makmur, Desa Papringan, Kecamatan Temayang. (*)



