Sikapi Revisi RUU Penyiaran, Savic Ali: Di Negara Demokrasi, Pers Bebas Lakukan Investigasi

  • Bagikan
KRITISI REVISI RUU PENYIARAN: Ketua PBNU, Savic Ali mengatakan bahwa, di negara demokrasi, pers bebas menjalankan investigasi atas kerja-kerja jurnalistik yang dijamin undang-undang.

INDOSatu.co – JAKARTA – Tak hanya kalangan pers yang menolak keras terhadap revisi RUU Penyiaran. Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Bidang Hukum dan Media, Mohamad Syafi’ Alieha (Savic Ali) juga merespons RUU Penyiaran yang dianggap mengancam kebebasan pers, terutama terkait pelarangan jurnalisme investigasi dan siaran eksklusif.

Savic menekankan bahwa kerja jurnalistik adalah hak untuk mendapatkan informasi. Kalau isu itu berkaitan dengan publik, Savic memastikan boleh dipublikasikan (menjadi sebuah karya jurnalistik). ”Prinsipnya, segala sesuatu yang berkaitan dengan publik itu boleh dilaporkan (dipublikasikan, Red),” tegas Savic kepada wartawan di Jakarta, Senin (3/6).

Baca juga :   Diantar Adik Ipar, Ijazah Jokowi dari SD hingga UGM Diserahkan ke Bareskrim

Menurut Savic, pelaporan investigasi oleh media adalah praktik yang sah di seluruh dunia, terutama di negara-negara dengan sistem demokrasi. “Di negara-negara demokratis, media bebas untuk melakukan investigasi dan melaporkan isu-isu yang penting bagi publik,” ujarnya.

Savic juga menyoroti peran penting media dalam mengungkap kasus-kasus serius, seperti human trafficking (perdagangan manusia). Ia mengatakan, polisi pun tak bisa mengungkap sindikat perdagangan manusia.

“Selama ini, siapa yang bisa mengungkapkan kasus trafficking? Ya media jurnalis lewat liputan investigatif. Bisakah kita berharap polisi mengungkap kasus trafficking antar negara tanpa ada laporan? Tidak bisa,” jelasnya.

Baca juga :   Terus Disorot Publik, Sufmi Dasco: Tidak Ada Pengesahan Revisi UU MK, karena Ditunda

Savic menegaskan, fungsi pers adalah untuk menindaklanjuti masalah-masalah yang ada di masyarakat, terutama jika masalah tersebut serius dan melibatkan pidana.

“Polisi akan menindaklanjuti laporan jika ada, tapi fungsi pers adalah untuk mengungkap masalah yang mungkin belum dilaporkan,” kata Savic.

Ia menyatakan bahwa wewenang polisi untuk melakukan penyadapan dan intervensi terhadap masyarakat, sebagaimana diatur dalam UU Polri, juga merupakan bentuk pelanggaran terhadap hak-hak individu. “Apapun yang mencampuri kehidupan orang itu dosa besar,” tegasnya.

Lebih lanjut, Savic mengingatkan bahwa sikap acuh terhadap pelanggaran hak-hak ini hanya akan merugikan masyarakat. “Kita harus waspada dan bersuara jika kebebasan pers dan hak untuk mendapatkan informasi diancam,” pungkasnya.

Baca juga :   Ketua DPD RI Imbau Pemerintah Antisipasi Sanksi Ekonomi Uni Eropa terhadap Rusia

Sebagai informasi, RUU Penyiaran terbaru versi Maret 2024 mencantumkan pelarangan penayangan eksklusif jurnalistik investigasi dalam Pasal 50B ayat (2).

Selain itu, Pasal 50B ayat (3) mengatur sanksi bagi pelanggar, mulai dari teguran tertulis, pemindahan jam tayang, pengurangan durasi siaran dan konten bermasalah, penghentian sementara siaran, denda, hingga rekomendasi pencabutan izin penyelenggaraan penyiaran (IPP).

Pasal 50B ayat (4) bahkan menyebutkan bahwa pengisi siaran juga bisa dikenakan sanksi berupa teguran dan/atau pelarangan tampil. (*)

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *