Syarat Pembangunan Ekonomi Berkualitas: Stop ‘Kriminalisasi’

  • Bagikan

SEMAKIN lama iklim usaha di Indonesia semakin kurang kondusif bagi pengusaha. Khususnya bagi pengusaha swasta yang selalu dicurigai sebagai ‘monster’ serakah. Stigma ini tidak jarang digunakan untuk pengalihan isu atas kegagalan pihak-pihak tertentu. Artinya, pengusahaan swasta seringkali dijadikan kambing hitam, alias dikorbankan, atau bahkan dijadikan ‘ATM’.

Antara lain, ‘kriminalisasi’ pabrik beras “Maknyus” sekitar tahun 2017/2018 yang membuat pabrik beras tersebut pailit. Beberapa karyawannya dipenjara. Sekarang muncul fenomena baru, yaitu beras ‘oplosan’ yang juga sudah memakan korban.

Contoh lainnya yang masih segar, kasus ‘kriminalisasi’ kebijakan impor gula terhadap mantan Menteri Perdagangan Tom Lembong. Kasus ini masuk kategori ‘kriminalisasi’, karena Tom Lembong secara terang-benderang tidak terbukti melakukan korupsi maupun suap, tetapi dicari-cari alasan seolah-olah Tom Lembong melakukan tindak pidana korupsi, bukan untuk diri sendiri tetapi untuk menguntungkan pihak lain yang mengakibatkan kerugian keuangan negara.

Pihak lain tersebut adalah perusahaan swasta yang diberi izin impor gula. Padahal perusahaan swasta tersebut ditugaskan untuk mencukupi kebutuhan gula nasional yang mengalami defisit. Ketika ditugaskan oleh negara, melalui kementerian perdagangan, tentu saja perusahaan swasta tidak bisa dan tidak berani menolak.

Buntut ‘kriminalisasi’ terhadap Tom Lembong, sembilan perusahaan gula akhirnya dijadikan korban. Mereka dituduh diuntungkan oleh kebijakan importasi gula Tom Lembong yang mengakibatkan kerugian keuangan negara. Akibat ‘kriminalisasi’ yang luar biasa ini, pejabat dari sembilan perusahaan gula tersebut dijadikan tersangka tindak pidana korupsi dan dipenjara. Padahal, mereka jelas-jelas hanya menjalankan tugas negara untuk memproduksi gula kristal putih yang terus-menerus mengalami defisit setiap tahun. Mereka dikorbankan.

Baca juga :   Kembalikan Kekuasaan Tertinggi Rakyat dengan Kuasa Menetapkan

Tom Lembong kini sudah bebas, setelah mendapat abolisi dari Presiden Prabowo. Artinya, kebijakan impor gula harus dinyatakan tidak ada pelanggaran apapun, tidak ada tindak pidana korupsi. Tetapi, pejabat sembilan perusahaan gula masih saja tetap ditahan. Belum reda badai menimpa perusahaan gula rafinasi, mereka kini harus menghadapi tuduhan lain yang nampaknya bersifat fitnah.

Hal ini bermula dari pernyataan anggota Komisi VI DPR RI, Nasim Khan, yang menyoroti gula petani tebu menumpuk di gudang-gudang di Situbondo dan Wonosobo, Jawa Timur, karena tidak terserap pasar.

Atas kondisi yang memprihatinkan ini, ada pihak yang mau cari untung di air keruh. Mereka mencari kambing hitam. Siapa lagi kalau bukan perusahaan gula rafinasi. Peluru diarahkan kepada mereka, dan dituduh menjadi penyebab gula petani tebu tidak laku. Dengan alasan, gula rafinasi merembes ke pasar tradisional, sehingga membuat gula konsumsi petani tebu tidak laku. Seolah-olah, gula rafinasi membanjiri pasar tradisional.

Kemudian anggota DPR RI lainnya, Sahroni dari komisi III, langsung menyambut umpan Nasim Khan, dan meminta Polri dan Kejagung mengusut dugaan permainan gula di Jawa Timur.

Pernyataan para anggota dewan tersebut yang sangat disayangkan, karena tersirat menyudutkan pihak tertentu. Nampaknya pernyataan para anggota DPR itu tidak didukung fakta yang benar. Pernyataan spontan tersebut nampaknya tidak melalui kajian sama sekali. Misalnya, apakah benar gula petani tebu tidak terserap karena gula rafinasi membanjiri pasar tradisional?

Baca juga :   Turnamen Pengganti Piala Dunia U-20 Obat Kecewa dan Mengurangi Kerugian

Patut diduga, ada pihak yang dengan sengaja mendorong agar anggota dewan bicara spontan untuk memojokkan gula rafinasi. Alasannya; Pertama, musim panen dan musim giling tebu mencapai puncaknya sekitar bulan Juli hingga Oktober. Pada masa itu, produksi tebu pasti berlimpah ruah, dan kemungkinan besar memang tidak bisa diserap seluruhnya oleh perusahaan gula berbahan baku tebu, karena melebihi kapasitas finansial mereka. Sebagai indikasi, permasalahan struktural itu akan terus terulang setiap tahun.

Hal ini juga terjadi di komoditas pertanian lainnya, bukan hanya di komoditas tebu. Harga gabah, cabe, singkong, dan seterusnya pasti jatuh pada saat panen raya. Jadi, gula petani jatuh bukan karena gula rafinasi merembes ke pasar tradisional. Tetapi karena supply berlimpah ruah di masa panen raya, dan pemerintah atau BUMN gula tidak mempunyai mekanisme untuk menyangga harga gula petani agar tidak jatuh. Ini yang menjadi akar masalah sebenarnya.

Kedua, gula rafinasi yang ‘bocor’ ke pasar tradisional, jika benar ada, jumlahnya sangat tidak signifikan. Artinya jumlah tersebut tidak bisa menjadi faktor gula petani tebu tidak terserap pasar. Bayangkan, produksi gula tebu nasional sekitar 2,2 sampai 2,5 juta ton. Gula rafinasi yang diduga ‘bocor’ ke pasar tradisional hanya puluhan sampai ratusan ton saja. Jumlah ini sangat sedikit dibandingkan kebutuhan konsumsi gula pasir nasional yang mencapai 3 juta ton lebih. Artinya, jumlah rembesan sangat tidak signifikan untuk bisa mempengaruhi penjualan gula petani tebu.

Ketiga, seandainya ada gula rafinasi yang bocor ke pasar tradisional, hal ini patut diduga dilakukan oleh oknum yang ingin mendiskreditkan perusahaan gula rafinasi. Mereka ingin mencari kambing hitam atas kondisi gula petani yang tidak terserap pasar karena supply berlimpah ruah di musim panen raya, yang membuat harga jatuh.

Baca juga :   Api Itu Tak Pernah Padam (Sebuah Catatan Ideologis dan Jejak Seorang Aktivis Islam Nasionalis)

Dalam hal ini, patut diduga ada pihak yang memang sengaja untuk membocorkan gula rafinasi ke pasar tradisional, untuk diskreditkan perusahaan gula rafinasi, atau tepatnya ‘kriminalisasi’ perusahaan gula rafinasi.

Sebab, tidak mungkin rembesan gula rafinasi ke pasar tradisional dilakukan oleh perusahaan gula rafinasi. Hal ini terlalu kecil bagi bisnis mereka. Selain itu, mereka juga tidak mempunyai kapasitas operasional untuk menjual eceran di pasar tradisional. Tidak ada pabrik dalam industri apapun di dunia yang menjual gula eceran secara langsung ke pasar.

Karena itu, sistem penjualan ke pasar dilakukan melalui sistem distribusi berjenjang, yaitu misalnya dari distributor utama, distributor wilayah, distributor subwilayah, distributor khusus untuk industri makanan, distributor khusus untuk industri minuman, dan seterusnya.

Karena itu, sesuai permintaan Sahroni, anggota Komisi III DPR RI, aparat penegak hukum harus segera bertindak dan menemukan siapa pelaku intelektual dari upaya ‘kriminalisasi’ terhadap perusahaan gula, dan juga motifnya. Dan bagi oknum yang diperintah untuk menjual gula rafinasi di pasar tradisional harus segera ditindak sesuai hukum yang berlaku. (*)

Prof. Anthony Budiawan;
Penulis adalah Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS), Alumni Doktoral (S3) Erasmus University, Rotterdam, Belanda.

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *