INDOSatu.co – JAKARTA – Wakil ketua Tim Pembela Ulama dan Aktivis (TPUA) M. Rizal Fadillah menegaskan, proses penyidikan Polda Metro Jaya atas 12 terlapor dalam kasus dugaan ijazah palsu Joko Widodo sebaiknya dihentikan. Penyebabnya, Rizal menilai penyidikan kasus tersebut tidak berbasis hukum yang benar.
”Bahkan, lebih pada upaya kriminalisasi ketimbang penegakan hukum. Polda Metro Jaya tidak memberi contoh yang baik, dan itu mencoreng citra Kepolisian,” kata Rizal Fadillah dalam surat elektronik yang dikirim kepada INDOSatu.co, Kamis (14/8).
Menurut Rizal, dalam penanangan kasus ijazah palsu tersebut, Joko Widodo masih diperlakukan istimewa. Perlakuan itu terlihat di luar nalar dan akal sehat. Di Bareskrim Mabes Polri, polisi menghentikan penyelidikan Dumas TPUA, sementara laporan Joko Widodo di Polda Metro Jaya, berjalan mulus hingga tahap penyidikan.
”Melompat dengan penuh kejanggalan. Lompatan kepentingan dan menendang hukum,” kata Rizal.
Kejanggalan itu antara lain, kata Rizal, menerima laporan dengan alat bukti hanya foto copy dokumen. Ijazah asli tidak dibawa atau ditunjukkan. Foto copy itupun tanpa ada legalisasi. Dengan hanya selembar foto copy ijazah, Polda Metro melakukan proses penyelidikan. Di tingkat Polsek pun tentu akan berhati-hati dengan bukti seperti ini.
Kedua, ungkap Rizal, tanpa mekanisme konsultasi langsung LP dibuat, kemudian BAP, serta keluar Surat Penyelidikan secepat kilat. Luar biasa pelayanan yang nampakmya tidak mungkin didapat oleh warga negara lain dimanapun di seluruh Indonesia. Rekor tercepat pelayanan dan presisi satu hari.
Ketiga, beber Rizal, saat penyelidikan semua laporan Jokowi atas delik pencemaran dan fitnah baru dimintakan klarifikasi karenanya untuk ini ditandatangani Berita Acara Klarifikasi (BAK). Belum ada Berita Acara Pemeriksaan (BAP). Klarifikasi itu berstatus bukan pro justisia.
Keempat, kata Rizal, Jokowi membantah bahwa dalam pelaporan telah menyebut nama-nama terlapor. Bagaimana suatu delik aduan (klacht delict) pencemaran dan fitnah tanpa ada nama terlapor? Polisi semestinya tidak menerima laporan seperti itu.
Kelima, sebut Rizal, ironi dan melanggar hukum jika ada seseorang yang belum pernah diminta keterangan saat penyelidikan tiba-tiba diperiksa sebagai terlapor dalam proses penyidikan. Hal ini menimpa Abraham Samad, Nurdiansyah, dan Babe Aldo.
Keenam, menyatukan laporan dari beberapa Polres ke Polda Metro Jaya untuk delik yang berbeda pasti menimbulkan masalah hukum. Seorang terlapor dapat diperiksa dengan sejumlah pasal yang tidak terkait dengan pasal laporan. Konsekuensinya terjadi pelanggaran HAM atas 12 terlapor.
Agar tidak menimbulkan masalah hukum lebih berat, Rizal meyakini bahwa, publik dalam dan luar negeri menyoroti masalah itu bukan lagi kasus hukum, tetapi sarat dengan muatan politik. Politik perlindungan personal, maka sebaiknya cepat diambil langkah preventif, yakni menghentikan penyidikan. SP3 adalah jalan penyelamatan bagi citra Kepolisian.
Tantangan serta peluang bagi Kapolda Metro Jaya yang baru untuk mengawali langkah pengabdian hukum secara konsisten, bukan nekat melanjutkan proses penghancuran institusi atas nama penegakan hukum. ”Apalagi hanya demi melindungi seorang manusia pembohong yang bernama Joko Widodo,” pungkas Rizal. (*)