Tangis Sang Mualim dan Turun Tangan Anies Baswedan

  • Bagikan

ACEH kembali menangis. Tangis yang tidak sekadar basah oleh air mata, tetapi berat oleh sejarah panjang penderitaan. Air bah datang membawa lumpur, puing, dan kehilangan yang nyaris tak terhitung. Di desa-desa yang terendam, suara azan terdengar lirih, bersaing dengan isak tangis mereka yang kehilangan orang tercinta. Tanah yang dulu menjadi rumah kini berubah menjadi saksi bisu betapa rapuhnya hidup manusia di hadapan bencana.

Di tengah duka itu, seorang mualim berdiri dengan mata sembab. Muzakir Manaf—tokoh yang bagi rakyat Aceh bukan hanya pemimpin formal, tetapi figur moral—tak mampu menyembunyikan air mata. Tangisnya bukan kelemahan, melainkan pengakuan jujur akan keterbatasan manusia menghadapi ujian sebesar ini. Ia menangis bukan untuk dirinya, tetapi untuk rakyatnya. Tangis itu adalah bahasa kepemimpinan yang paling purba: empati.

Di saat seperti itulah Anies Baswedan hadir. Ia datang bukan sebagai pejabat, bukan pula sebagai sosok yang membawa simbol kekuasaan. Anies hadir sebagai masyarakat biasa—seorang manusia yang digerakkan oleh empati. Ia melampaui batas administratif, menanggalkan sekat jabatan, dan memilih berdiri sejajar dengan mereka yang kehilangan segalanya. Kehadirannya bukan mandat struktural, melainkan panggilan kemanusiaan.

Baca juga :   Akankah Tomy Winata Menang di Pulau Rempang?

Anies menyusuri wilayah terdampak tanpa jarak. Ia mendengar cerita warga tanpa tergesa, menatap mata mereka yang masih menyimpan trauma, dan memeluk kesedihan yang tak bisa diucapkan dengan kata-kata. Ia membawa bantuan logistik, tetapi lebih dari itu, ia membawa penguatan psikologis: rasa bahwa penderitaan ini tidak dibiarkan sunyi.

Dalam konteks bencana, kehadiran semacam ini sangat berarti. Bukan karena siapa yang datang, melainkan bagaimana ia datang. Anies tidak tampil sebagai penilai dari kejauhan, tetapi sebagai bagian dari penderitaan itu sendiri. Ia hadir untuk saling menguatkan, saling menolong—sebagaimana hakikat kemanusiaan itu bekerja dalam kondisi paling genting.

Ketika Muzakir Manaf meneteskan air mata, Anies tidak datang untuk menghibur dengan kata-kata klise. Ia hadir sebagai saksi dan pendamping. Dalam diam yang penuh makna itu, terjalin kesadaran bahwa kepemimpinan sejati bukan tentang selalu kuat, tetapi tentang berani mengakui keterbatasan dan mengundang solidaritas.

Bencana banjir besar di Aceh dan wilayah Sumatera meninggalkan luka yang dalam. Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat ribuan korban jiwa, ratusan masih hilang, serta kerugian material yang meluluhlantakkan sendi kehidupan masyarakat. Namun angka-angka itu tak pernah cukup untuk menggambarkan kehilangan yang sesungguhnya: anak-anak yang kehilangan orang tua, petani yang kehilangan lahan, dan komunitas yang kehilangan rasa aman.

Baca juga :   Aji Mumpung Jokowi

Dalam pernyataannya, Anies menyerukan agar pemerintah pusat segera menetapkan bencana Aceh dan Sumatera sebagai bencana nasional. Seruan itu lahir dari kesadaran lapangan, dari perjumpaan langsung dengan warga yang berhari-hari belum tersentuh bantuan memadai. Status bencana nasional bukan simbol politik, melainkan instrumen kemanusiaan—agar negara dapat bergerak lebih cepat, lebih besar, dan lebih adil.

Namun kehadiran Anies tidak berhenti pada aspek bantuan darurat. Ia juga menyampaikan pesan yang lebih dalam: bahwa bencana bukan sekadar peristiwa alam, melainkan cermin relasi manusia dengan lingkungan. Anies mengetuk kesadaran siapa pun—pemerintah, pelaku usaha, dan masyarakat—bahwa alam yang dirusak akan selalu menemukan caranya untuk menuntut kembali keseimbangannya.

Dalam berbagai kesempatan, Anies menegaskan bahwa menyelamatkan manusia tidak bisa dipisahkan dari menyelamatkan alam. Sungai yang disempitkan, hutan yang dibabat, dan tata ruang yang diabaikan akan selalu berujung pada korban paling lemah. Dalam narasi ini, kemanusiaan dan ekologis adalah satu kesatuan moral.

TERPANGGIL: Tokoh nasional Anies Baswedan (kanan) bersama relawan Humanies saat menyalurkan donasi untuk korban bencana di Aceh, Sumut dan Sumbar. (foto: YouTube Anies Baswedan)

Anies hadir sebagai manusia yang merasa diamanahkan Tuhan. Ia menghidupkan nilai yang kerap dikutip namun jarang dipraktikkan: sebaik-baik manusia adalah mereka yang paling bermanfaat bagi sesamanya. Manfaat itu tidak berhenti pada manusia saja, tetapi meluas pada alam dan seluruh makhluk yang bergantung padanya.

Baca juga :   Prabowo adalah (Bukan) Kita

Bagi masyarakat Aceh, kehadiran ini memiliki makna simbolik yang kuat. Dalam budaya yang menjunjung tinggi adab dan kebersamaan, pemimpin yang hadir tanpa jarak adalah pemimpin yang dihormati. Bukan karena kekuasaan, melainkan karena keberpihakan.

Tangis Mualim hari ini adalah tangis peringatan. Bahwa negara tidak boleh hanya hadir setelah bencana, tetapi harus hadir sebelum tragedi terjadi. Turun tangan Anies di Aceh menjadi potret kepemimpinan kemanusiaan—yang tidak berhenti pada belas kasihan, tetapi bergerak menuju tanggung jawab.

Dari lumpur yang masih basah dan air mata yang belum kering, Aceh mengajarkan kembali makna kepemimpinan: hadir sebagai manusia, bertindak untuk kemanusiaan, dan menjaga alam sebagai amanah bersama. Dalam duka yang mendalam, harapan itu menemukan jalannya—melalui langkah-langkah kecil yang jujur dan keberanian untuk peduli. (*)

M. Isa Ansori;
Penulis adalah Kolumnis dan akademisi, Dewan Pakar LHKP PD Muhammadiyah Surabaya dan Wakil Ketua ICMI Jatim.

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *