INDOSatu.co – JAKARTA – Mantan Menkopolhukam, Mahfud MD mengkritik keluarnya Peraturan Kapolri (Perkap) Nomor 10 Tahun 2025 yang memungkinkan 17 jabatan sipil bisa diduduki oleh anggota Polri aktif.
Perkap tersebut, kata dia, bertentangan dengan dua undang-undang. Pertama, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia. Di mana di dalam Pasal 28 Ayat 3 disebutkan bahwa anggota Polri yang mau masuk ke jabatan sipil itu hanya boleh apabila minta berhenti atau pensiun dari Dinas Polri.
“Ketentuan terbatas ini sudah dikuatkan oleh Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 114 Tahun 2025,” kata Mahfud dikutip dari YouTube pribadinya, Sabtu (13/12).
Kedua, kata mantan Ketua MK itu, Perkap tersebut juga bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang ASN, terutama Pasal 19 Ayat 3 yang menyebut bahwa jabatan-jabatan sipil di tingkat pusat boleh diduduki oleh anggota TNI dan anggota Polri, sesuai dengan yang diatur di dalam Undang-Undang TNI dan Undang-Undang Polri.
“Undang-Undang TNI sudah mengatur adanya 14 jabatan, yang kalau diperluas menjadi 16, sudah mengatur bahwa TNI bisa ke situ. Tapi Undang-Undang Polri sama sekali tidak menyebut jabatan-jabatan yang bisa diduduki oleh Polri,” jelasnya.
Dengan demikian, lanjut Mahfud, ketentuan Perkap itu, kalau memang diperlukan, itu harus dimasukkan di dalam undang-undang, tidak bisa hanya dengan sebuah Perkap jabatan sipil itu diatur.
“Saudara juga nggak benar lho kalau mengatakan, ‘Loh, Polri itu kan sudah sipil, masa tidak boleh masuk ke jabatan sipil?’ Ya memang begitu aturannya. Sipil tidak boleh masuk ke sipil juga kalau di ruang lingkup tugas dan profesinya,” katanya.
Mahfud lalu mencontohkan, seorang dokter bertindak sebagai jaksa. Demikian juga jaksa juga tidak bisa bertindak sebagai dokter. “Jadi dari sipil ke sipil pun ada pembatasannya,” jelasnya.
Karena itu, tambah dia, aturan tersebut harus diproporsionalkan agar asas legalitas tidak dipertentangkan dengan fakta-fakta keluarnya Perkap yang sudah dibuat oleh Kapolri.
“Maaf, saya tidak bicara atas nama anggota Komisi Reformasi karena anggota Komisi Reformasi tidak boleh membicarakan hal-hal semacam itu sebagai pendapat resmi. Tapi saya sebagai dosen hukum tata negara,” ujarnya. (*)



