INDOSatu.co – JAKARTA – Anggota Komisi IV DPR RI Rokhmin Dahuri mengoreksi capaian stok pangan yang diklaim pemerintah sebagai yang tertinggi dalam sejarah Indonesia. Koreksi tersebut dilakukan karena dia menengarai bahwa sebagian besar stok beras yang diklaim tinggi tersebut bukan berasal dari gabah lokal, melainkan dari sisa impor pemerintahan sebelumnya.
”Jumlahnya pun tak main-main, mencapai sekitar 1,5 juta ton. Jadi, saya mendesak agar pemerintah bersikap jujur dan transparan dalam menyampaikan data kepada publik,” kata Rokhmin dalam keterangannya kepada wartawan di Jakarta, Kamis (7/8).
Rokhmin juga mempertanyakan siapa pihak yang meminta Bulog menahan distribusi beras dari gudang, padahal kapasitas penyimpanan sudah penuh dan sebagian beras mulai rusak.
Rokhmin menyebut adanya indikasi saling lempar tanggung jawab antara Bapanas, Bulog, dan Kementerian Pertanian. Rokhmin mengaku sudah sidak ke beberapa gudang seperti di Jogja, Semarang, dan Karawang. Banyak beras yang mulai membusuk. Bahkan, DPR sudah meminta sejak awal supaya segera dilepas ke pasaran, karena ini bukan uang APBN, tapi pinjaman komersial dari bank Himbara.
“Kita ini harus mendidik pemerintah agar jujur. Karena jujur itu sumber kebaikan, dan kalau tidak jujur, itu jalan menuju kehancuran,” ujar Rokhmin.
Ia bahkan menilai kebijakan penahanan distribusi beras dan penetapan HET yang tidak seimbang dengan harga gabah sebagai kebijakan yang tidak berpihak pada rakyat. Rokhmin menduga, kebijakan tersebut bisa dimanfaatkan oleh mafia pangan untuk mempermainkan harga di pasar.
“Jangan-jangan di situlah kerja mafia. Menahan beras agar harga naik, sementara rakyat dan petani menjadi korban,” pungkas anggota Fraksi PDI Perjuangan ini.
Bukan hanya itu. Rokhmin juga menyoroti kerugian secara ekonomi akibat maraknya beras oplosan belakangan ini. Selain merugikan, dampak beras oplosan juga berpengaruh pada aspek kesehatan masyarakat.
Rokhmin mengingatkan, bahwa isu beras oplosan harus dipandang sebagai masalah pangan nasional yang menyangkut keamanan konsumsi publik atau food safety. Dampaknya bukan hanya ekonomi. Konsumen dirugikan karena membeli beras yang seharusnya kelas medium, tapi dilabeli premium. ”Dari sisi harga, mereka bayar lebih mahal dari kualitas yang didapat,” ujar Rokhmin.
Lebih lanjut, Rokhmin menguraikan, secara kesehatan, beras oplosan dapat membahayakan masyarakat. Sebab, ada standar mutu tertentu yang harus dipenuhi dalam klasifikasi beras premium, seperti kadar air maksimal 14 persen dan batasan patahan butir beras tidak lebih dari 9 persen.
Bila beras tidak memenuhi standar tersebut, namun tetap dijual dengan label premium, maka berpotensi merugikan konsumen dari aspek gizi dan keamanan pangan. Karena itu, Rokhmin meminta agar masalah itu diusut tuntas.
“Berbicara soal kedaulatan pangan, itu tidak hanya soal kuantitas produksi, tapi juga soal kualitas dan keamanan. Ini menyangkut nutrisi yang dikonsumsi masyarakat,” tegasnya.
Rokhmin juga menyoroti dampak beras oplosan terhadap petani. Menurutnya, praktik tersebut tidak membuat petani menikmati keuntungan dari margin harga yang ditarik dari konsumen. Justru, harga gabah tetap ditekan di angka Rp 6.500 per kilogram, sedangkan harga beras di pasaran terus melambung.
“Petani tetap saja dirugikan. Padahal pemerintah mengklaim stok beras Bulog tertinggi dalam 57 tahun terakhir, tapi kenapa harga di pasar tetap naik? Ini aneh dan harus jadi perhatian,” ungkap Guru Besar IPB itu. (*)



