PERNYATAAN kader Partai Solidaritas Indonesia (PSI) yang juga calon anggota legislatif (caleg) Ade Armando menuai perhatian publik. Ade Armando yang mempermasalahkan politik dinasti dalam kepemimpinan Daerah Istimewa Yogyakarta adalah sikap bodoh, tidak mengerti sejarah dan buta Konstitusi.
Status Gubernur DIY yang berkaitan dengan budaya keraton adalah keistimewaan Yogyakarta. Tidak dapat disamakaan dengan provinsi lain termasuk proses pemilihan kepemimpinan. Yang perlu diingat, Yogyakarta juga pernah menjadi ibukota negara.
Peran dan jasa Raja Yogyakarta terhadap kemerdekaan negara Indonesia juga sangat besar, yang puncaknya dimulai melalui perjuangan heroik Pangeran Diponegoro melawan penjajah. Kakek-nenek Pangeran Diponegoro adalah Sultan Hamengkubuwono II.
Serangan Ade Armando kepada KM BEM Universitas Gadjah Mada (UGM) atas aksi yang mengkritisi kepemimpinan Jokowi, yang memang dirasakan semakin mementingkan keluarga, adalah tidak nyambung dan tendensius.
Membela Jokowi dengan menuding kepemimpinan Daerah Istimewa Yogyakarta sama saja dengan advokasi “ngeles” yang tidak akademis. Pandangan Ade Armando adalah gambaran intelektual oportunistis.
PSI yang sekarang dipimpin kader karbitan Kaesang Pangarep bin Jokowi adalah partai pendukung Prabowo yang berpasangan dengan Gibran Rakabuming Raka bin Jokowi. Politik dinasti dituduhkan publik atas perilaku politik Jokowi diujung periode masa jabatannya. Ia mengutamakan dan merekayasa keluarga untuk melanjutkan kekuasaan. Bahasa yuridisnya adalah Nepotisme.
Nepotisme sebagaimana diatur dalam Pasal 22 UU No 28 tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas KKN merupakan kejahatan yang diancam pidana kurungan maksimal 12 (dua belas) tahun. Kualifikasinya adalah tindak pidana berat. Jokowi, Gibran, Kaesang, Anwar Usman, Iriana dan Bobby Nasution adalah satu rumpun keluarga yang diduga kuat terlibat dalam Nepotisme.
Aksi KM BEM UGM yang juga dilakukan oleh BEM UI adalah kritik keras pada Istana yang mempraktikkan politik dinasti atau Nepotisme tersebut. Jokowi adalah Presiden Republik tetapi menggunakan pola Kerajaan. Seolah ia menyatakan bahwa Negara adalah keluargaku “l’etat c’est ma famille”. Putusan MK menjadi bukti Jokowi bersemangat untuk menjadikan keluarga sebagai penguasa.

Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono X perlu melakukan jawaban dan klarifikasi berbasis Konstitusi dan Undang Undang tentang posisi DIY. Ade Armando terpaksa minta maaf. PSI kebakaran jenggot dan menyatakan bahwa pandangan Ade Armando tidak mewakili Partai. Tanpa sanksi, maka sanggahan PSI hanya basa-basi. Rakyat Yogyakarta terlanjur marah atas penghinaan Ade Armando “trouble maker”.
Paguyuban Masyarakat Ngayogyakarta untuk Sinambungan Keistimewaan (Paman Usman) menggeruduk Kantor DPW PSI DIY dan meminta agar Ade Armando tidak cukup meminta maaf, akan tetapi juga mendapat sanksi Partai.
Paman Usman adalah salah satu gumpalan dari kekecewaan dan kemarahan. Mengultimatum hukuman dalam 2 kali 24 jam dengan ancaman akan membersihkan atribut PSI di Yogyakarta. Tidak peduli bahwa Ketum PSI adalah Kaesang anak Presiden.
Setelah Gibran diobrak-abrik oleh rakyat karena Putusan MK yang merupakan rekayasa Istana, kini Partai Kaesang diobrak abrik masyarakat Yogyakarta. Yogyakarta kini melawan Partai Solidaritas Indonesia (PSI). Partai tegak lurus Jokowi. Partai pengembang Jokowisme.
Entah paham apa yang dimaksud dengan Jokowisme itu? semacam Fir’aunisme, Namrudisme atau Leninisme? Yang jelas adalah Nepotisme! Negara Keluarga Jokowi. (*)
M. Rizal Fadillah;
Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan, tinggal di Bandung.