INDOSatu.co – JAKARTA – Dipanggilnya para pimpinan ormas Islam oleh Presiden Prabowo Subianto di kediamannya di Hambalang, Bogor, Sabtu (30/8) mendapat perhatian dari Nadirsyah Hosen, cendekiawan muda Nahdlatul Ulama. Pria yang juga dosen di Fakultas Hukum Monash University, Australia itu menilai, pemanggilan itu dianggapnya sebagai salah baca.
Menurut Nadirsyah, pernyataan pimpinan ormas Islam yang dipanggil Prabowo seolah tak memberi efek apa-apa. Publik sudah lama melihat ormas-ormas besar itu bukan sekadar “pilar masyarakat,” tapi sudah menjadi bagian dari pemerintah.
”Maka suara mereka terdengar lebih seperti corong kekuasaan, bukan gema keresahan rakyat. Benarkah demikian?,” kata Nadirsyah dalam akun X dikutip INDOSatu.co, Senin (1/9).
Pemerintah, kata Nadirsyah, tampak ‘salah baca’. Yang turun ke jalan, kata dia, melakukan kekerasan, dan menjarah bukanlah mereka yang terafiliasi dengan ormas Islam. ”Mengapa ormas Islam yang diminta menenangkan?,” kata Nadirsyah penuh tanya.
”Inilah getirnya. Saat ajaran agama gagal memberi inspirasi solutif, para pemuka agama hanya diposisikan seolah sebagai “pemadam kebakaran,” sambung Nadirsyah.
Agama, ungkap Nadirsyah, semestinya menjadi energi moral untuk perubahan. Kehadiran ulama penting untuk legitimasi, sayangnya jarang menyentuh akar masalah. Seharusnya harus disampaikan juga soal aspirasi umat pada Presiden soal rakyat yang kena PHK, biaya hidup mencekik, arogansi, korupsi merajalela, keadilan menjauh. ”Presiden pun mengakui itu semua (benar adanya, Red),” kata Nadirsyah.
Kalimat “NKRI Harga Mati” yang kerap digaungkan, kata Nadirsyah, sangat disayangkan maknanya hanya jargon kosong. NKRI harga mati berarti juga berdiri di pihak rakyat. Membela tanah air berarti membela perut, suara, dan harapan rakyat.
”Jika pemerintah tak lagi menjaga amanat, ulama harus berani mengingatkan akar masalah, bukan sekadar jadi alat penenang suasana,” kata Nadirsyah.
Kata Nadirsyah, yang ditunggu rakyat sekarang ini bukan khutbah pereda luka, tapi seruan yang berani menyingkap sumber derita. Jika agama hanya hadir untuk menenangkan tanpa mengobati akar masalah, wajar bila umat merasa ditinggalkan.
Imam al-Ghazali sudah mengingatkan: “Secara umum, kerusakan rakyat disebabkan oleh kerusakan penguasa, dan kerusakan para penguasa disebabkan oleh kerusakan ulama. Seandainya tidak ada hakim dan ulama yang buruk, niscaya kerusakan para penguasa akan berkurang karena mereka takut terhadap penolakan (kritik) dari ulama.”
Karena itu, Nadirsyah berharap pemerintah segera bisa mencari solusi atas apa yang menjadi kehendak publik belakangan ini. Jangan sampai penyelesaian urusan publik itu berlarut-larut. ”Damai dan sejahtera negeri kita, Indonesia,” pungkas Nadirsyah. (*)



