‘Gebrakan Rp 200 Triliun’ Purbaya, Anthony: Sulit Dorong Ekonomi Tumbuh

  • Bagikan
SAMPAIKAN DATA: Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS), Anthony Budiawan menyikapi dugaan mark up proyek Kereta Cepat Whoosh yang harus diselidiki secara tuntas oleh KPK.

INDOSatu.co – JAKARTA –  Publik banyak terkesima dengan gebrakan Menkeu yang baru, Purbaya Yudhi Sadewa dengan “mengguyurkan” duit Rp 200 triliun ke bank BUMN (Himbara), dengan harapan untuk menggairahkan ekonomi Indonesia. Tetapi tidak demikian dengan penilaian Anthony Budiawan, Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS).

Purbaya sebagai pengganti Menkeu Sri Mulyani yang baru saja Presiden Prabowo Subianto menilai, kebijakan ekonomi Indonesia selama ini salah arah, baik dari sisi moneter maupun fiskal.

Menurut Purbaya, penempatan dana pemerintah sebesar Rp 457,5 triliun di Bank Indonesia (BI) per akhir 2024, yang berasal dari Saldo Anggaran Lebih (SAL), telah memperketat likuiditas perbankan, dan memperlambat pertumbuhan ekonomi.

Sebagai solusi, Purbaya memutuskan untuk memindahkan sebagian dana SAL tersebut, senilai Rp200 triliun, dari BI ke enam bank umum negara. Menurutnya, langkah ini merupakan bentuk pelonggaran likuiditas yang diharapkan mampu mendorong pertumbuhan ekonomi hingga mencapai 6,5-7 persen.

Baca juga :   Soal Demo dan 6 Tuntutan Mahasiswa, LaNyalla Minta Polisi Tidak Represif

Bagi Anthony Budiawan, ‘gebrakan 200 triliun’ itu justru patut dipertanyakan. Kebijakan tersebut dikhawatirkan tidak akan efektif dalam mengatasi perlambatan ekonomi yang sedang terjadi. Setidaknya ada beberapa alasan yang mendasari keraguan tersebut, antara lain:

Pertama, kata Anthony, permasalahan utama perekonomian Indonesia saat ini bukan karena kekurangan likuiditas di sektor perbankan. Sebaliknya, kondisi likuiditas perbankan nasional saat ini justru relatif longgar. ”Hal itu tercermin dari dua indikator,” kata Anthony.

Satu, ungkap Anthony, Loan to Deposit Ratio (LDR) perbankan saat ini relatif rendah, yaitu sekitar 86–88 persen. Angka ini menunjukkan likuiditas perbankan masih cukup longgar, dengan ketersediaan dana pihak ketiga yang lebih besar dibandingkan penyaluran kredit.

Dua, kata Anthony, penempatan likuiditas perbankan dalam Surat Berharga Negara (SBN) dan Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) juga sangat besar, mendekati Rp 1.900 triliun. Besarnya alokasi dana itu juga menunjukkan bahwa likuiditas perbankan berlimpah, tetapi tidak terserap ke dalam kredit.

Baca juga :   PPATK Buka Blokir Rekening, Jumhur Sampaikan Apresiasi ke Presiden Prabowo

”Dua indikator tersebut secara jelas menegaskan bahwa perbankan nasional saat ini menghadapi kondisi kelebihan likuiditas, bukan kekurangan likuiditas,” tukas ekonom senior alumni Erasmus University, Rotterdam, Belanda itu.

Kedua, kata Anthony, pemindahan dana SAL pemerintah sebesar Rp 200 triliun dari BI ke bank-bank umum BUMN (Himbara) tidak dapat dikategorikan sebagai kebijakan fiskal maupun moneter yang bersifat ekspansif.

Karena, ungkap Anthony, stimulus fiskal (ekspansif) hanya dapat dilakukan melalui dua cara. Yaitu pemberian insentif perpajakan (dengan mengurangi beban pajak masyarakat) dan/atau peningkatan belanja negara: bukan dengan pemindahan dana pemerintah dari BI ke bank-bank umum negara.

”Dengan demikian, kebijakan pemindahan dana tersebut diperkirakan tidak akan mampu meningkatkan likuiditas perbankan maupun mempercepat pertumbuhan kredit,” beber Anthony.

Dampaknya pun, kata Anthony, kemungkinan hanya terbatas pada program-program khusus, seperti penyaluran kredit untuk Koperasi Merah Putih, yang sebelumnya telah dirancang oleh Menteri Keuangan terdahulu, Sri Mulyani, seperti diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 63 Tahun 2025 tentang Penggunaan Saldo Anggaran Lebih pada Tahun Anggaran 2025 untuk Pemberian Dukungan kepada Bank yang Menyalurkan Pinjaman kepada Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih, yang diterbitkan pada 28 Agustus 2025.

Baca juga :   Dakwaan Dipaksakan, Saksi Ahli: Tom Tidak Bersalah dalam Kasus Impor Gula

Untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, saran Anthony, Purbaya sebaiknya menjalankan kebijakan fiskal yang benar-benar ekspansif seperti dijelaskan di atas: yaitu melalui pengurangan pajak dan/atau peningkatan belanja negara. Bukan sekedar pemindahan dana dari BI ke bank-bank umum negara.

Sedangkan dana SAL pinta Anthony, sebaiknya digunakan untuk membiayai defisit anggaran, dari pada disimpan di bank umum negara. Dengan demikian, pemanfaatan SAL dapat mengurangi kebutuhan pembiayaan melalui utang baru, sekaligus menurunkan beban bunga yang harus ditanggung APBN. (*)

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *