INDOSatu.co – YOGYAKARTA – Kesepakatan tarif resiprokal antara Indonesia dan Amerika Serikat (AS) yang memungkinkan pemerintah AS mengakses data pribadi Warga Negara Indonesia (WNI) menuai kekhawatiran serius dari aspek keamanan manusia.
Kekhawatiran itu disampaikan Guru Besar bidang Keamanan Manusia Program Studi Hubungan Internasional Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Prof. Dr. Sidik Jatmika, M.Si., yang menilai bahwa, kebijakan ini berpotensi melemahkan kedaulatan digital Indonesia sekaligus melanggar hak privasi warga negara.
“Menurut saya, ada tiga hal yang perlu diwaspadai: Privasi pribadi WNI, kedaulatan data nasional, dan keamanan negara. Data biometrik, identitas, hingga rekam jejak perjalanan warga berpotensi diakses oleh pemerintah negara lain. Ini bukan persoalan kecil,” tegas Prof. Sidik kepada wartawan, Jumat (25/7).
Prof. Sidik menilai bahwa, perjanjian seperti itu menempatkan Indonesia dalam posisi relasi kekuasaan yang asimetris. Dengan kapasitas teknologi dan kekuatan diplomatik yang lebih besar, Amerika Serikat memiliki potensi untuk memanfaatkan data tersebut demi kepentingan nasionalnya.
Menurutnya, isu tersebut bukan sekadar tentang efisiensi hubungan diplomatik atau keuntungan ekonomi, melainkan menyangkut perlindungan hak dan keselamatan warga negara dalam kerangka human security atau keamanan manusia.
“Penyalahgunaan data digital dapat berdampak luas, mulai dari gangguan terhadap keamanan psikologis, pelanggaran privasi, hingga ancaman terhadap keamanan hukum dan politik masyarakat Indonesia. Ini bukan sekadar ancaman teoritis, melainkan sangat mungkin terjadi di tengah konstelasi geopolitik global saat ini,” jelasnya.
Prof. Sidik juga menekankan bahwa pemberian akses data tanpa pengawasan yang ketat berpotensi melanggar hak asasi manusia (HAM) sebagaimana dilindungi dalam UUD 1945 Pasal 28G serta Undang-Undang No. 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi.
Ia menegaskan bahwa, data pribadi adalah hak dasar yang tidak boleh dikorbankan demi alasan pragmatis semata, karena perlindungan atas data juga merupakan amanat nilai-nilai Pancasila.
Merespons hal tersebut, ia mendesak pemerintah untuk segera melakukan evaluasi dan audit menyeluruh atas kesepakatan tersebut secara transparan. Prof. Sidik mendorong agar isi perjanjian dibuka kepada publik dan DPR RI untuk memastikan bahwa tidak ada pelanggaran terhadap regulasi nasional, khususnya yang berkaitan dengan perlindungan data pribadi dan hak digital.
“Perlindungan keamanan manusia bukanlah isu sampingan, tetapi inti dari tanggung jawab negara untuk menjaga keselamatan, martabat, dan kedaulatan rakyatnya. Kita semua, baik akademisi maupun masyarakat sipil, perlu terus mengawasi dan menyuarakan kepedulian terhadap kebijakan ini demi kepentingan rakyat Indonesia,” pungkasnya. (*)



