Ada Apa (Apanya) Draf UU Penyiaran?

  • Bagikan

MASYARAKAT Pers terusik.  Kebebasan Pers di Indonesia sudah selama ini sudah dirasakan nyaman dan “on the track” dgn UU Pers Nomor 40 tahun 1999 yang ditetapkan dengan jiwa dan semangat reformasi, mendadak ada usulan dalam draf RUU Penyiaran Baru yang sedang digodog di Komisi 1 dan Badan Legislasi (Baleg) DPR-RI.

Ini terjadi karena beberapa pasal dalam draf RUU Penyiaran itu dinilai berpotensi memberangus kebebasan pers.Misalnya ada larangan untuk menyiarkan konten eksklusif jurnalisme investigasi sebagaimana yang dimuat pada Pasal 50 B Ayat (2) huruf (c) RUU Penyiaran tertanggal 27 Maret lalu tersebut.

Kenapa hal diatas dipertanyakan? Karena hal tersebut tidak sesuai dengan aturan sebelumnya yang sudah berjalan 25 tahun. UU Nomor 40 tahun 1999 sudah sangat baik mengatur ikhwal kerja dan etika pers, termasuk soal kegiatan jurnalisme investigasi. Kalau sekarang mendadak muncul usulan untuk mengatur soal khusus ini (dengan KPI/Komisi Penyiaran Indonesia) bisa diprediksikan akan muncul pasal-pasal tiitipan (baca: colongan) yang akan menghambat Kebebasan Pers selama ini. Termasuk juga penyelesaian sengketa pers yang selama ini ditangani baik oleh Dewan Pers. Dalam RUU ini, di Pasal 42 akan dilakukan oleh KPI.

Memang anehnya pada konsideran draf RUU Penyiaran itu sama sekali tidak mencantumkan Undang-Undang Pers yang sudah ada sebelumnya, sehingga dalam sistematika penulisan draf RUU akan berpotensi tumpang tindih sekaligus ketidakpastian hukum yang mengaturnya. Sebagai mantan anggota Komisi I DPR RI, yang menangani juga soal soal Pers dan Kominfo, bahkan sempat juga menjadi anggota Baleg DPR-RI selama sekitar setahun, mulai 2016-2017, saya sangat bisa memahami kejanggalan yang dirasakan oleh Insan Pers hari-hari ini.

Baca juga :   Reformasi Kepolisian

Meski asumsi tersebut dibantah oleh beberapa anggota Komisi I dan mereka kompak mengatakan bahwa DPR tidak memiliki maksud/tujuan untuk melemahkan keberadaan pers dan masih membuka ruang kepada insan pers, masyarakat sipil dan para pegiat untuk membantu menyempurnakan revisi RUU Penyiaran tersebut, namun sekali lagi wajar bilamana masyarakat sekarang memang harus mewaspadai ketidaksinkronan antara statemen yang disampaikan sebelumnya dengan hasil akhir yang terjadi. Sebab contohnya sudah sering, misalnya dalam RUU Cipta Kerja ya akhirnya jadi UU Ciptaker sekarang, banyak sekali terjadi ketidaksesuaian dalam pelaksanaan dan sangat merugikan masyarakat, terutama kaum buruh.

Mengapa Jurnalisme Investigasi ini menarik? Karena selain yang ada di media cetak dan online, visualisasi tayangan jenis ini di media elektronik memang menempati posisi tersendiri bagi masyarakat. Pasca Indonesia memberi kebebasan untuk stasiun TV swasta menayangkan berita, maka sejak 1989 saat RCTI dan SCTV menyusul di tahun 1990 memiliki program jenis ini langsung diminati masyarakat. Sejarah mencatat, banyak nama acara unggulan stasiun-stasiun TV tersebut telah akrab di hati masyarakat. Mulai dari SiGi (SCTV), BuSer (SCTV), Metro Realitas (MetroTV),Telusur (TVone), Kupas Tuntas (TV7), Berkas Kompas (KompasTV) sampai kepada Program2 yg menggunakan nama Anchornya sendiri : Aiman (KompasTV), AFD Now / Alfito Deanova (CNN), Rosi (KompasTV), Ni Luh (KompasTV), Rully Files (CNN) dan sebagainya.

Baca juga :   Selayaknya Diskualifikasi Prabowo-Gibran

Tidak jarang, bahkan pembuatan liputan Jurnalisme investigatif diatas beresiko kepada jurnalis/Reporternya. Misalnya yang barusan dialami oleh salah satu jurnalis senior dari sebuah TV Swasta saat Pemilu 2024 kemarin. Meski sempat diproses dan berjalan kasusnya, Alhamdulillah dalam perkembangannya Pelapor kemudian mencabut pengaduannya dan kasus tersebut dihentikan penyidikannya, meski sudah sempat dilakukan beberapa kali pemanggilan kepada sang jurnalis, bahkan penyitaan barang bukti dari yang bersangkutan meski statusnya masih sebagai Saksi. Dalam kasus tersebut, sebenarnya UU Pers sekali lagi sudah cukup bisa digunakan untuk menjembatani jika terjadi perselisihan pendapat antara satu pihak dengan pihak lain.

Karena itu, jika dalam RUU Penyiaran justru akan diberikan tambahan kepada KPI untuk “cawe-cawe” dalam urusan materi jurnalistik itu, dikhawatirkan malah bisa terjadi saling sengkarut alias tumpang tindih kepentingan dari dua lembaga yang sebenarnya sudah punya tupoksi masing-masing, yakni Dewan Pers dan KPI. Bisa jadi justru masalahnya tidak cepat selesai sebagaimana penyelesaian mediasi yang dilakukan Dewan Pers selama ini. yang terjadi justru berbuntut panjang karena melibatkan banyak pihak dan metode penyelesaian yang berbelit karena perbedaan mekanisme penyelesaiannya.

Memang revisi atau pergantian UU adalah suatu hal yang diperlukan jika eksistensi UU sudah tidak sesuai lagi dengan kondisi masyarakat. Misalnya Revisi UU ITE/Informasi dan Transaksi Elektronik Nomor 11 tahun 2008 menjadi UU Nomor 19 Tahun 2016 dan terakhir sekarang UU No 01 Tahun 2024. Sementara, ada juga UU lain yang sebenarnya sudah ketinggalan zaman karena teknologinya banyak yang sudah berkembang, yakni UU Telekomunikasi Nomor 3 tahun 1989 yang revisi terakhirnya adalah UU Nomor 36 tahun 1999 alias sudah berusia 25 tahun dari sekarang> Padahal, dunia telekomunikasi sudah sangat berkembang dibandingkan awal tahun 2000 lalu.

Baca juga :   Polemik Manfaat Hilirisasi Nikel: Manipulatif untuk Pencitraan?

Karena itu, UU memang harus direvisi jika sudah tidak sesuai zaman adalah hal yang wajar dan tidak akan menimbulkan pertanyaan. Namun jika UU yang masih berjalan baik dan sesuai dengan kehidupan masyarakat mendadak ada (kepentingan?) untuk diganti atau ditambahkan hal-hal yang justru menarik mundur alias mengekang demokrasi, tentu pantas menjadi pertanyaan besar: Ada apa (apanya?) dibalik itu semua?

Mengapa justru terkesan akhir-akhir ini reformasi makin jauh dari harapan, Demokrasi dikebiri dan malah korupsi, kolusi, nepotisme (KKN) makin menjadi-jadi? Siapa lagi yang bisa mengkritisi kalau Pers yang sehat dan bertanggungjawab malah dibungkam? Miris, pada 2045 nanti yang terjadi bukan Indonesia Emas, tetapi menjadi Indonesia Cemas… (*)

Dr. KRMT Roy Suryo, M.Kes; 
Penulis adalah Pemerhati Telematika, Multimedia, AI & OCB, Mantan Anggota DPR-RI Komisi-1 2 periode (2009-2019) sekaligus mantan Anggota Badan Legisllasi/Baleg DPR-RI 2016-2017.

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *